SELAMAT DATANG DAN BERGABUNG DENGAN KAMI

BACA DAN NIKMATILAH ARTIKEL-ARTIKEL SASTRA DAN BAHASA KAMI YANG TELAH TERMUAT DI BEBERAPA MEDIA MASSA, BAIK DALAM BENTUK BAHASA JAWA MAUPUN INDONESIA!

PENYEMANGAT

KEJAR TERUS DUNIA MAYA, ENGKAU PASTI MENDAPATKAN SEGALANYA!

Jumat, 19 September 2008

2. Bahasa Jawa


(termuat di Taboit Info, Vol 03, No. 01, Januari 2004)

Sebagai seorang guru muatan lokal, betapa bangganya saat menyaksikan sebuah tayangan suatu televisi, yang menyiarkan berita dengan menggunakan pengantar bahasa Jawa. Betapa tidak? Bahasa Jawa adalah salah satu mata pelajaran muatan lokal SMP Jawa Timur (Mulok Jatim) yang merupakan bidang saya. Setiap hari saya bergaul akrab dengan mata pelajaran tersebut. Dengan hati-hati dan sungguh-sungguh setiap materi saya suguhkan agar menjadi sajian menarik untuk siswa.
Ternyata, pekerjaan rutin itu sekarang hanya sebagai lelucon atau bahan gurauan para siswa SMP dan mungkin siswa lain pada jenjang pendidikan yang sama. Hal ini terbukti, beraneka ragamnya kalimat yang disusun siswa. Secara kebetulan saya menjelaskan struktur kalimat berketerangan saat itu. Terdengar kalimat-kalimat terlontar dari mulut beberapa siswa. Katanya, “Kyai Mustofa matek wingi sore.” (Ind. Kyai Mustofa meninggal kemarin sore). “Saiki Pak Guru nyantap raine Adi.” (Ind. Sekarang Pak Guru memukul wajah Adi). “Maeng esuk babune Minah digibeng Pak Tovan nganti benjut kabeh.” (Ind. Tadi pagi pembantu Minah dipukul Pak Tovan sampai memar semua), dsb. sambil tertawa sebagian siswa tersebut mengutarakannya.
Saya terkejut mendengar ungkapan beberapa kalimat siswa dengan menggunakan kata-kata yang tidak seharusnya mereka ungkapkan itu. Kata-kata yang saya maksud, misalnya: “matek” (Ind. meninggal dunia), “nyantap” (Ind. memukul), “raine” (Ind. wajahnya), “babune” (Ind. pembantu rumah tangga), “digibeng” (Ind. dipukul). Selanjutnya saya menjelaskan pada siswa bahwa kata-kata semacam itu “kasar”, tidak sesuai “unggah-ungguh” bahasa Jawa dan tak layak digunakan, baik dalam pergaulan (bentuk lisan) maupun dalam penulisan. Apa jawab para siswa? Merekapun tak mau menerima penjelasan itu, malah beberapa siswa berceloteh dan “saur manuk” menyebutkan “Pojok Kampung … Pojok Kampung”. Sebenarnya bukan hanya kali ini siswa menyangkal. Kemarin di kelas sebelah. Sekarang di kelas ini. mungkin besok di kelas yang lain lagi.
Berbicara “Pojok Kampung” yang merupakan salah satu program rutin tayangan suatu televisi (JTV), memang membuat saya semakin bingung. Di satu sisi saya bangga karena materi (bahasa Jawa) diangkat sebagai bahasa pengantar suatu berita televisi. Di sisi lain saya terus berselisih paham dengan para siswa. Masalahnya, materi yang saya sajikan kepada siswa selalu berdasarkan “unggah-ungguh” (tataran bahasa). Jadi, kalau istilah “matek” (Ind. mati) diterapkan untuk panggilan seorang Kyai umpamanya, rasanya kok kurang tepat. Jangankan “matek” menggunakan istilah “mati” saja masih belum cukup untuk seorang Kyai, yang sehari-harinya amat kita hormati dan kita junjung tinggi. Untuk beliau itu seharusnya menggunakan istilah “seda/kondur ing alam kelanggengan/ kapundhut Gusti Kang Murbeng Dumadi”.
Selanjutnya, kita berbicara soal bahasa. Sebenarnya, hampir sama antara bahasa Jawa dan bahasa Indonesia. Hanya istilahnya saja yang berbeda. Kalau bahasa Jawa menggunakan tataran/tingkatan bahasa, yang terkenal dengan istilah “unggah-ungguh”, bahasa Indonesia menggunakan istilah “memperhalus kata”. Misalnya, bahasa Indonesia mempunyai kata “mati”. Kata “mati” identik artinya dengan meninggal dunia, wafat, gugur, tewas atau pulang ke Rahmatullah, menghadap Illahi Robbi, dipanggil Yang Maha Kuasa, mengakhiri hidupnya, dsb. walaupun sama artinya, kata tersebut berbeda dalam penggunaannya. Untuk hewan kita gunakan kata “mati”, untuk manusia kita gunakan kata “meninggal dunia”. Untuk manusia khusus (dalam arti untuk lebih menghormati), kita gunakan “wafat/pulang ke Rahmatullah/menghadap Illahi Robbi/dipanggil Yang Maha Kuasa”. Untuk para pahlawan, kita gunakan kata “gugu”. Untuk kecelakaan di jalan, kita gunakan kata “tewas”. Untuk yang bunuh diri, kita gunakan kata “mengakhiri hidupnya”, dsb.
Coba kita amati bahasa yang ada di “Pojok Kampung”. Sebagian kata-katanya boleh dibilang kasar (dalam arti kurang tepat dalam penggunaannya). Beberapa kalimat yang pernah saya catat dari siaran “Pojok Kampung” di siang atau malam hari, diantaranya: “Jarene Gubernur Imam Utomo …., Brigda Eko Sutikno matek. Wong wedok mau tibane dadi lonte. Perwira tentara nggibengi babune. Ndase arek iku boncel. Lanangan mau padha golek wedokan. Toni lan Nardi saiki minggat.”
Sekarang apa yang harus kita perbuat? Haruskah kita tetap duduk manis di tempat tanpa mau berbuat sesuatu? Padahal kita tahu bahwa tayangan “Pojok Kampung” itu terdengar masyarakat luas (dalam arti terdengar baik oleh yang tua maupun yang muda, baik anak-anak sampai dengan yang dewasa) dan itu menyebar sampai ke seluruh pelosok Nusantara. Bagi dunia bidang lain mungkin tidak begitu terasa dampak negatifnya, tetapi tidak bagi dunia pendidikan, yang didalamnya tersirat tujuan mulia mendidik anak bangsa agar menjadi manusia berbudi pekerti luhur dan berakhlak mulia.
Perlu pembaca ketahui bahwa bentuk konkrit budi pekerti luhur dan akhlak mulia seseorang itu bukan hanya terlihat dari sikap dan perbuatannya saja, melainkan juga tutur bahasanya. Oleh karena itulah pemilihan kata-kata yang benar dan tepat pula penggunaannya akan berpengaruh positif pada pembentukan budi pekerti/akhlak mulia siswa. Itu semua merupakan salah satu tugas dan kewajiban setiap guru dan orang tua dalam rangka membantu siswa menuju kedewasaannya.
Sehubungan dengan hal tersebut, dalam hati kecil saya bertanya, tidak bisakah “Pojok Kampung” memperhalus setiap kata-kata dalam siarannya? Misalnya saja, tidak menyebutkan kata “lonte” untuk istilah “WTS”, tetapi menggantinya dengan “wanita nakal”. Tidak menyebutkan “lanangan” untuk istilah “lelaki gelap”, tetapi menggantinya dengan “pria nakal/pasangan kharam”.tidak menyebutkan “matek” untuk, manusia yang meninggal, tetapi menggunakan istilah “mati” atau yang lain, yang lebih baik/.halus. Tidak menggunaskan “minggat” untuk yang pergi tanpa pamit, tetapi menggunakan istilah “lunga gak pamitan”. Tidak menggunakan “babu” untuk istilah pembantu rumah tangga”, tetapi menggunakan kata “rewang”, dsb. Saya rasa itu semua bisa dilakukan, walaupun bentuk bahasa “Pojok Kampung” termasuk dalam kategori bahasa dialek Surabaya.
Sebenarnya, saya sering membaca dialek Surabaya ini pada majalah berbahasa Jawa “Panyebar Semangat”. Dialek Surabaya tersebut selalu ditampilkan pada setiap edisi penerbitan dengan judul rubrik “Rujak Cingur” (Obrolane Cak Ari). Yang perlu saya informasikan di sini bahwa bahasa yang digunakan dalam dialek tersebut terasa halus dan tidak pernah ditemukan kata-kata kasar seperti pada “Pojok Kampung”. Kata-kata yang ada di “Rujak Cingur” tersebut, misalnya: pena (Ind. kamu), barek (Ind. dengan), sampeyan (Ind. kamu untuk menghormat), cumak (Ind. hanya), kate (Ind. akan), saniki (Ind. sekarang), engkuk (Ind. nanti), dsb.
Kalau untuk bahasa “walikan” yang merupakan dialek kota Malang, saya setuju-setuju saja diangkat di layar kaca JTV pada setiap siaran “Pojok Kampung Awan”. Itu kan salah satu bentuk perwujudan kebebasan dalam rangkaian Otoda dan tidak berdampak negatif bagi dunia pendidikan kita. Misalnya: menyebut “rumah” dengan istilah “hamur”, menyebut “malang” dengan istilah “ngalam”, menyebut “dicekel” dengan istilah “dilekec”, menyebut “sepeda motor” dengan istilah “adepes rotom”, menyebut “arek-arek” dengan istilah “kera-kera”, dsb.
Lalu siapakah yang berhak menyensor kata-kata yang kurang sepatutnya digunakan dalam siaran berita “Pojok Kampung” itu? masih diperlukankah badan sensor di era reformasi ini? padahal kita tahu bahwa semua pihak menghendaki suatu bentuk kebebasan seluas-luasnya. Jangan-jangan kita malah termasuk yang melanggar HAM! Masih ingatkah kita akan polemik “Goyang Inul” dulu? Akhirnya kan jalan terus bukan? Malah dilanjutkan dengan “Goyang Kayang” dan “Goyang Patah-patah” serta “Goyang Ngecor”. Terakhir menyusul pula sebuah lagu “Cucak Rowo” karya Didik Kempot, yang selanjutnya sempat ramai ditembangkan anak-anak kecil di bawah umur, tanpa tahu akan makna porno yang terkandung didalamnya. Akankah salah satu dialek bahasa Jawa ini, yang merupakan aset budaya nasional bangsa mengalami nasib tragis yang sama? Wallahua’lam!

1 komentar:

-wn- mengatakan...

Bagus sekali ini tulisannya. Kebetulan pas sy sdg cari arti "kapundhut" dan dapat jawabannya di sini. Lanjutkan Mbak Tami...