SELAMAT DATANG DAN BERGABUNG DENGAN KAMI

BACA DAN NIKMATILAH ARTIKEL-ARTIKEL SASTRA DAN BAHASA KAMI YANG TELAH TERMUAT DI BEBERAPA MEDIA MASSA, BAIK DALAM BENTUK BAHASA JAWA MAUPUN INDONESIA!

PENYEMANGAT

KEJAR TERUS DUNIA MAYA, ENGKAU PASTI MENDAPATKAN SEGALANYA!

Rabu, 25 Maret 2009

15. Memaknai Nilai Ora Ilok Dalam Budaya Jawa

(oleh Karti Tuhu Utami)
(termuat di Majalah Bende, edisi 60 Oktober 2008)

Seorang anak kecil tiba-tiba duduk di atas bantalnya. Ibu si anak cepat-cepat berkata, “Eee, jangan duduk di atas bantal, nanti kamu udunen!” Si anakpun spontan menjawab, “Mana mungkin? Ibu bohong! Lihat semua sopir bus duduk di atas bantalnya masing-masing. Kok ya nggak ada satu pun yang udunen!”
Suatu ketika seorang gadis remaja ingusan sedang ngemil makanan sambil berdiri di tengah pintu, ibunya pun mendekatinya sembari berkata, “Kalau makan jangan depan pintu, nanti jodohnya pulang dan tak kembali!” Si gadis menyahut sambil tertawa,“Ya tak kejar jodoh tersebut dan kugandeng terus kubawa ke sini!”
Di lain hari seorang guru menjelaskan adat sopan santun dengan menanamkan konsep “Jangan membuang air dalam keadaan panas pada lubang WC atau saluran air”. Siswa bertanya, “Mengapa?” Guru pun menjawab (seperti pitutur nenek moyangnya), bahwa tempat-tempat kotor seperti itu disukai bangsa jin/setan. Kalau air panas menyentuh makhluk halus, maka mereka akan marah. Si Siswa pun lantas berceloteh, “Setan kan diciptakan Tuhan dari api, masak kena panas terus marah-marah?” Si Guru kelabakan mencarikan argumentasinya. Begitu didapatkannya, spontan guru berkata, “Sama aja dengan Kamu. Manusia atau kamu juga terbuat dari tanah, tetapi mengapa saat terjadi tanah longsor, mereka semua pada mati?”
Kata “Jangan begini,-jangan begitu atau dilarang ini-dilarang itu” sering diungkapkan orang Jawa (utamanya orangtua) dengan istilah “Ora ilok”. Menurut Bausastra Jawa-Indonesia, S. Prawiroatmojo, 1981, Ilok itu mengandung arti kadang-kadang atau terkadang-kadang. Ora ilok berarti tidak patut, tidak baik (takhayul). Ilokan/ iloke mengandung arti tidak umum, tidak biasa (tanda heran).
Dalam kehidupan sehari-hari, orang Jawa seringkali menggunakan istilah ora ilok untuk hal-hal yang kurang patut, tidak pantas atau buruk dalam mendidik putra-putrinya, tanpa mau memberikan alasan berarti. Menurut hemat penulis, ada dua kemungkinan terkait keengganan orangtua memberikan alasan tersebut. Pertama, karena adat/tradisi kepatuhan generasi Jawa, yang cenderung harus mengiyakan/menyetujui apa yang dikatakan orangtuanya (budaya feodal). Sabda orangtua identik sabda Baginda Raja. Sabda Baginda Raja empiris hukum, dimana setuju atau tidak tetap harus dilakukan. Mereka lupa bahwa yang namanya orangtua/Baginda Raja adalah manusia juga, yang mungkin suatu ketika bisa salah. Kedua, mungkin karena orangtua memang sempit pandangan sehingga tidak mampu memberikan penalaran yang masuk akal.
Berbicara budaya Jawa, sebenarnya banyak sekali filsafat yang tersirat didalamnya. Kita sering tidak tahu dan enggan mempelajarinya. Mau kita hanya mengekor atau nuladha dengan berdalih ingin melestarikan, tanpa mengerti sama sekali maksudnya. Contoh : pada adat upacara kemantenan Jawa. Pajangan rumah harus ada pohon pisang raja, tebu, cengkir (kelapa gading muda), padi, daun beringin, serta janur. Itu semua memiki arti simbolis (bukan sekedar pajangan rumah bagi yang sedang berhajat).
Tebu (antebing kalbu), ini simbolis sikap kemantapan atau keteguhan hati kedua mempelai yang satu sama lain merupakan jodoh.
Cengkir (kencenging pikir), menunjukkan pada suatu pola pemikiran yang telah mantap, bahwa laki-laki dan perempuan itu memang jodohnya.
Padi, tumbuhan ini merupakan lambang kehidupan pokok masyarakat Jawa, yang sebagian besar hidupnya dari pekerjaan bertani. Di samping itu, tumbuhan padi dalam kepercayaan Jawa berhubungan erat dengan Dewi Sri, yang dianggap sebagai dewi rumah tangga/dewi kesuburan. Melalui lambang padi, orangtua mengharapkan kebahagiaan hidup kedua mempelai itu.
Pisang raja, jenis pisang yang memiliki nilai tertinggi di antara jenis pisang lainnya. Simbol ini menggambarkan penganten laki-laki yang akan bertemu dengan pengantin wanita. Untuk menggambarkan pertemuan, terkadang dilengkapi dengan jenis pisang lain, yaitu urut-urutannya: pisang raja, pisang saba, pisang kluthuk, dan pisang emas (penganten wanita). Lantas, muncul istilah raja saba kepethuk emas.
Daun beringin, jenis tumbuhan ini melambangkan keluarga yang dibentuk suami istri diharapkan dapat memberikan pengayoman pada kerabat yang membutuhkan. Sekaligus merupakan peringatan pula bahwa pada dasarnya mereka itu tidak hidup sendiri, dan mereka adalah bagian dari suatu kelompok.
Janur, melambangkan ajaran orangtua terhadap kedua mempelai bahwa apabila suatu ketika terjadi suasana kurang baik dalam rumah tangga mereka, hendaknya jangan sampai orang di luar keluarganya mengetahuinya.
Orang Jawa tulen masih mengindahkan pajangan rumah bagi yang sedang berhajat seperti di atas. Kalau anak cucu mereka ada yang melanggar, orangtua pasti berkata, “Ora ilok, Le! Ora ilok, Ndhuk!”. Sebenarnya, ada baiknya juga kegiatan tersebut diikuti. Tetapi karena generasi muda kurang mengerti maknanya, maka ada kecenderungan mengabaikannya. Dan mereka malah berkata, “Ngapain pakai janur dan pohon tebu segala. Itu tidak indah! Ganti saja dengan lampion dan pita-pita!”
Mari kita simak beberapa perbuatan ora ilok beserta hikmanya di bawah ini :
Sumur tepat di depan rumah, tidak pantas dilihat tamu, potensial menimbulkan kotoran, membahayakan anak kecil.
Kasur tanpa sprei, debunya dapat mengakibatkan sesak saluran pernafasan.
Wadah tanpa tutup, membuat makanan cepat kadaluarsa, lalat yang membawa penyakit mudah menghinggapinya.
Kori (pintu) dan jendela masih terbuka saat terbenamnya matahari, binatang-binatang sawah akan masuk ke rumah.
Orang yang menanam pisang di depan rumah, pohon pisang cepat mendatangkan kotoran, utamanya dari binatang yang suka makan buah pisang, ulat-ulat masuk ke pintu rumah.
Orang yang tidak pernah memberi, akan merusak hubungan sosial, orang harus timbal balik dengan sesamanya.
Orang tidak pernah menyapu, tidak menjaga kebersihan dan membahayakan kesehatan rumah.
Orang yang menyapu di malam hari, tidak pada waktunya.
Orang yang menghentikan sampah, menunda pekerjaan adalah tidak baik.
Orang yang mengelap dengan kain yang sedang dipakai, tidak sepantasnya dan mengotori pakaian.
Orang yang membuang sampah di kolong rumah, membuat kotoran menumpuk dan membahayakan kesehatan rumah.
Orang yang membuang sampah dari jendela, tidak sopan dan menyalahi fungsi jendela.
Orang yang berdiri di depan pintu, mengganggu jalan orang yang mau lewat.
Orang yang sering bertopang dagu, membuat pikiran kosong, melamun dan membuang-buang waktu.
Orang yang singsot, mengganggu ketenangan orang dan sering dikira kode-kode tertentu yang membuat orang lain curiga, dsb.

Demikian sekelumit gambaran dan pengalaman yang bisa penulis paparkan. Mudah-mudahan dapat menambah sekaligus memperluas wawasan, utamanya bagi orangtua dan guru dalam memberikan penalaran berarti pada putra-putri atau anak didiknya. Sehingga mereka mengerti dan memahami makna “Ora ilok” yang sering mereka perdengarkan dalam kehidupan sehari-harinya.*
(Rujukan : Upacara Tradisional Jawa, 2005, Dr. Purwadi, M. Hum)


14. APRESIASI SASTRA

(oleh Karti Tuhu Utami )
(termuat di Majalah Median LPMP Surabaya, Vol.VI.No.1 Juni 2008)

Setiap pembelajaran bahasa (baik Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, maupun Bahasa Jawa) mencakup empat aspek keterampilan berbahasa, yaitu aspek mendengar, berbicara, membaca dan menulis. Selain keempat aspek tersebut masih ada satu kegiatan berbahasa lagi, yakni apresiasi sastra.
Kegiatan apresiasi sastra sering terabaikan oleh guru bahasa dalam pembelajaran sehari-hari di sekolah. Banyak faktor penyebab tidak diajarkan/dilatihkannya kegiatan apresiasi sastra, diantaranya berkaitan dengan pribadi guru dan siswa itu sendiri.
Kaitannya dengan guru, misalnya: kurangnya kemampuan guru (hal ini disebabkan masih banyaknya materi bahasa yang diajarkan bukan oleh guru vak bahasa). Berkaitan dengan siswa, misalnya: kurangnya motivasi siswa untuk melakukan apresiasi sastra, karena kegiatan tersebut dianggapnya tidak bermanfaat atau tidak bisa dipergunakan untuk mencari kerja. Bukan hanya itu, di sisi lain ada yang beranggapan bahwa apresiasi sastra tidak efektif. Kegiatan apresiasi tersebut diyakininya sebagai suatu pemborosan, yang banyak menghabiskan waktu dan tenaga.
Sekilas orang memandang, apresiasi sastra memang nampak tidak efektif/berhasil guna. Mungkin mereka lupa bahwa tujuan setiap pembelajaran itu mencakup 3 ranah: kognitif (pengetahuan), psikomotor (keterampilan), dan afektif (sikap). Maksudnya, setelah proses pembelajaran berakhir siswa tidak hanya diharapkan cerdas pikirannya (kaya pengetahuan) dan mahir berbagai macam keterampilan (cekatan), tetapi juga harus “tanggap” sikapnya (dalam arti: memiliki perasaan, mampu membedakan dan memberikan penilaian, berjiwa seni, berakhlak luhur, berperilaku mulia, dsb). Kegiatan apresiasi sastra erat sekali kaitannya dengan ranah afektif tersebut.
Said Tuhuleley, wakil dewan redaksi majalah pendidikan Gerbang pun pernah berkata, “Jangan-jangan perkelahian pelajar yang marak belakangan ini salah satu penyebabnya ialah perasaan dan hati nurani para murid tidak terasah baik, dan jangan-jangan pula itu semua terjadi karena pendidikan sastra kita belum sepenuhnya diarahkan pada tujuan mulia itu.” (Gerbang, edisi 10, 2005: 5).
Sebenarnya, apresiasi sastra itu apa? Materi mana saja yang bisa diapresiasikan? Bagaimana cara mengapresiasikannya? Dsb. Apresiasi bisa diartikan sebagai kesadaran terhadap nilai-nilai seni dan budaya atau penilaian (penghargaan) terhadap sesuatu (KBBI 1989: 46). Sedangkan sastra (kesusasteraan) berarti karya tulis, yang jika dibandingkan dengan tulisan lain memiliki berbagai ciri keunggulan seperti keaslian, keartistikan, keindahan dalam isi dan ungkapannya (KBBI 1989: 786). Jadi, apresiasi sastra bisa diartikan suatu kegiatan untuk menilai/menghargai karya tulis yang artistik dan indah.
Pada materi pelajaran Mulok Bahasa Daerah/Jawa, materi yang bisa diapresiasikan diantaranya: crita cekak (Ind.cerita pendek), crita sambung (Ind.cerita bersambung), wacan bocah (Ind.cerita anak), dongeng, guritan (Ind.puisi Jawa), tembang (Ind.lagu Jawa), dsb.
Contoh mengapresiasi sastra:
1. Tembang “Ilir-Ilir”
Ilir- ilir ilir-ilir, tandure wus sumilir
Tak ijo royo-royo, daksengguh temanten anyar
Cah angon-cah angon penekna blimbing kuwi
Lunyu-lunyu penekna, kanggo masuh dodotira
Dodotira-dodotira kumitir bedhah ing pinggir
Dondomana jlumatana kanggo seba mengko sore
Mumpung jembar kalangane, mumpung padhang rembulane
Sun suraka surak hore

Tembang Ilir-Ilir ini merupakan salah satu hasil karya sastranya Kanjeng Sunan Kalijaga, yang berisikan dakwah. Mengapa tembang tersebut penulis masukkan dalam kategori sastra? Karena tembang tersebut diungkapkan dalam bentuk tulsan/bahasa yang indah. Perhaikan syair tembangnya: Kata ilir-ilir diulang 2x, dilanjutkan kata sumilir, berikutnya kumitir dan pinggir. Persamaan bunyi suara ir mampu memperindah bahasa yang digunakan. Demikian pula pada kata sore, kalangane, rembulane, dan hore. Perulangan suku kata/bunyi e diakhir kata juga mempercantik bahasa yang dipergunakan. Oleh karena itulah tembang Ilir-Ilir bisa dikategorikan ke dalam salah satu bentuk hasil karya sastra.

Terjemahan Bahasa Indonesia dan apresiasinya
- Ilir- ilir ilir-ilir, tandure wus sumilir
(Ind. mulai bersemi-mulai bersemi, tanamannya sudah terlihat bersemi)
Maksudnya, tanaman para wali dan mubaligh berupa Agama Islam.
- Tak ijo royo-royo, daksengguh temanten anyar
(Ind. tanaman menghijau, seperti penganten baru)
Maksudnya, tanaman yang nampak tumbuh menghijau tersebut menyenangkan semua yang memandang bak menyaksikan penganten baru/sepasang muda-mudi yang sedang bersanding di pelaminan)
- Cah angon-cah angon penekna blimbing kuwi
(Ind. anak pengembala-anak pengembala panjatkan pohon belimbing itu)
Pengembala yang dimaksudkan adalah para penguasa negeri (pemimpin rakyat).Mereka dianjurkan segera melaksanakan Rukun Islam (memanjat belimbing). Belimbing memiliki 5 segi, yang mengkiaskan Rukun Islam.
- Lunyu-lunyu penekna, kanggo masuh dodotira
(Ind. licin-licin/walaupun licin, tetap panjatkan untuk membasuh kampuhmu/kain selimutmu)
Maksudnya, dalam memanjat belimbing (melaksanakan Rukun Islam) itu jalannya memang menanjak dan licin. Walau demikian tetaplah ber upaya mencapai tujuan. Ini dapat digunakan untuk bekal hidup kelak.
- Dodotira-dodotira kumitir bedhah ing pinggir
(Ind. kampuh-kampuhmu sudah rusak dan robek di bagian tepinya).
Maksudnya, keyakinan/kepercayaanmu salah, sudah tercampur animis me, yang membolehkan berbuat “Ma-lima”. Ajaran agamamu tanpa dasar/landasan yang haq (seperti wahyu), tetapi hanya berupa tahayul.
- Dondomana jlumatana kanggo seba mengko sore
(Ind. jahitlah kampuh/kain selimutmu yang rusak untuk bekal menghadap nanti sore)
Maksudnya, para penguasa negeri dan rakyatnya dianjurkan segera menjahit kain selimut (memperbaiki keyakinan) yang salah tadi dengan ajaran/Agama Islam. Itu semua dimaksudkan sebagai bekal/persiapan sewaktu-waktu dipanggil Allah SWT (meninggal dunia). “Mengko sore” atau nanti sore mengandung pengertian bahwa umur manusia itu merupakan takdir/ketentuan Sang Penguasa Jagad Raya.
- Mumpung jembar kalangane, mumpung padhang rembulane
(Ind. mumpung luas jangkahnya, mumpung terang bulannya)
Maksudnya, mumpung panjang jalannya, mumpung ada waktu untuk bertobat (belum meninggal), segeralah mengikuti ajaran Agama Islam.
- Sun suraka surak hore
(Ind. tepuklah, bertepuk-tanganlah sambil berucap ‘hore’)
Maksudnya, bersuka/bersenang-senanglah setelah berpegang teguh pada Agama Islam. Semoga Allah SWT memberikan anugerah bagi kita sekalian. (Sumber apresiasi dari Panyebar Semangat, edisi 43, 2007).

2. Guritan (Puisi Jawa)

ZIARAH
(Basuki Widodo)

dak tandur wangine kembang mlathi
pinangka rabuk watu nisanmu
ana lagu gumonthang
mbarengi runtuhe kembang semboja
siji mbaka siji

tanpa dak rasa srengengeku bakal angslup
kejepit nisan iki
nadyan ora dak ranti

Surabaya, 1989
Panyebar Semangat, No.20, 13 Mei 1989

Terjemahan Bahasa Indonesia dan apresiasinya
ZIARAH
Aku tanam semerbak wanginya bunga melati/sebagai pupuk batu nisanmu/ ada lagu berkumandang/bersamaan dengan jatuhnya bunga kamboja/satu persatu.
Tiada terasa matahariku akan tenggelam/terjepit nisan ini/walaupun tidak aku tunggu

Isi puisi Ziarah:
Berziarah kubur itu diibaratkan seperti orang sedang menanam bunga melati yang harum sekali baunya. Bisa juga dikiaskan seperti orang yang sedang memupuk tanaman sehingga semakin subur pertumbuhannya. Atau, bak orang menghibur yang sedang bersedih dengan lagu-lagu.
Tetapi, orang melakukan ziarah kubur itu tidak akan bisa selamanya. Sebab, semua manusia kelak akan meninggal dunia sebagaimana orang yang sedang diziarahi.

Amanat puisi ZIARAH:
Manusia hidup di dunia itu tak ubahnya seperti orang yang sedang antri mati. Maka dari itu ziarah kubur baik untuk dilakukan. Sebab, dengan bertindak demikian berarti mengingatkan manusia itu sendiri bila kelak pasti akan mendapat gilirannya.

Sebagaimana tertulis di atas bahwa apresiasi sastra bisa diartikan kegiatan untuk menilai/menghargai karya tulis yang artistik dan indah. Penyair Romawi Kuno, Horatius mengatakan bahwa mempelajari sastra itu “dulce et utile” atau menyenangkan dan bermanfaat (Dr.Dendy Sugono, 2003). Menyenangkan dapat dikaitkan dengan aspek hiburan yang diberikan sastra. Sedangkan bermanfaat dapat dihubungkan dengan pengalaman hidup yang ditawarkan sastra.
Konsep Horatius inilah yang harus ditanamkan guru pada siswa, agar siswa memiliki motivasi tinggi dalam mempelajari sastra, tentu saja konsep tidak sekedar hanya diajarkan sebagai pengetahuan melainkan harus disampaikan dalam bentuk latihan-latihan. Dengan demikian siswa akan memperoleh pengetahuan nyata dan berharga dalam kegiatan apresiasi sastra itu sendiri.***

13. HAKEKAT SENI

( oleh Dra. Karti Tuhu Utami )
(termuat di Majalah Bende, Edisi 35, September 2006)

Berbicara masalah seni, tentunya tidak terlepas dari segi keindahannya. Seni apa saja, apa itu seni musik, seni tari, seni lukis, seni suara, seni sastra, seni drama, seni pahat, dsb. Dalam kamus telah dituliskan pengertian seni secara panjang lebar bahwa seni adalah 1) halus (tt rabaan); kecil dan halus; tipis dan halus; lembut dan enak didengar (tt suara); mungil dan elok ( tt tubuh), 2) keahlian membuat karya yang bermutu (dilihat dari segi kehalusannya, keindahannya, dsb)- misal: seni bangunan, yakni seni tt keindahan dalam membuat bangunan; seni rakyat yakni kesenian masyarakat banyak dibentuk yang dapat menimbulkan rasa indah yang diciptakan sendiri oleh anggota masyarakat yang hasilnya merupakan milik bersama (KBBI 1995: 816).
Kita sering merasakan keindahan suatu seni, tetapi kadang sulit untuk menentukan kriteria keindahan karya seni itu sendiri.
Anehnya, teman sebelah kita atau orang lain di luar sana juga mengatakan sama dengan pendapat kita. Bagaimana tarian tadi? Dia menjawab ,”Bagus!”. Bagaimana hasil karya sastra ini? Beliau menjawab, “Indah!”. Bagaimana pementasan drama tadi malam? Mereka menjawab, “Amat memuaskan!” dsb. Sebaliknya, manakala kita mengatakan bahwa seni-seni tersebut tidak indah, hampir semua juga berpendapat sama. Yang menjadi pokok persoalan di sini, “Benarkah keindahan seni tidak berdasarkan suatu kriteria?” Kalau memang begitu, tentu bersifat subyektivitas sekali alias tergantung pada perasaan penikmat seni itu sendiri.
Pada saat penulis mengikuti kegiatan Gladi Sastra Etnik di Taman Budaya Surabaya pada tanggal 29-31 Mei 2006, penulis sempat menanyakan kepada Mas Bonari Nabonenar. Penulis mengatakan bahwa di Majalah Panyebar Semangat pernah terbaca cerkak (cerita pendek) yang menurut penulis tidak bagus, tetapi mengapa dimuat? Maksud penulis bukan setiap cerkak di PS tersebut kurang bagus semua, yang bagus lainnya masih banyak. Sebenarnya, bagaimana sih kriteria keindahan suatu hasil karya itu? Kurang lebihnya demikian yang penulis tanyakan. Ternyata, Mas Bonari tidak memberikan batasan tertentu, beliau hanya menatakan bahwa saya (penulis) sudah memiliki kemampuan untuk menilai hasil karya. Hal ini terbukti penulis sudah bisa menyatakan, “bagus atau tidak”.
Di kesempatan berikutnya, seorang peserta dari Madura (Irianti) juga menanyakan, “Bagaimana pemirsa/penonton bisa menikmati suatu kreasi seni, sementara mereka tidak mengerti sama sekali bahasa yang dipergunakan dalam seni pertunjukan hasil karya? “Mas Sendang Mulyono dari Semarang pun berkomentar bahwa banyak ragam seni, yang walaupun tidak dimengerti bahasanya, tetapi dapat juga dinikmati keindahannya. Beliau menegaskan bahwa seni itu selalu dapat dinikmati keindahannya oleh siapa pun, kalau memang hasil karya tersebut benar-benar “indah”.
Penulis amat setuju dan amat mendukung sekali akan pendapat itu. Sebab, penulis memang bisa enjoy menikmati lagu “Denpasar Moon, Poco-Poco, Aserege”, dsb. saat dikumandangkan, padahal penulis tidak mengerti sama sekali maksud dan isi syair lagunya. Nah, semacam inilah sebenarnya yang menjadi rawan, banyak menimbulkan polemik dan salah faham. Masyarakat awam sih tidah salah, karena memang hanya sekedar menikmatinya. Lihat saja si Kecil, dia melantunkan temang Cucak Rowo di mushollah. Para siswa juga menikmati indahnya lukisan vulgar kemolekan wanita (payudara, paha, pantat) saat rekreasi di Bali. seorang kakek asyik menikamti goyang pinggul para penyanyi di layar kaca saat anak cucunya tidak di rumah, dsb. Penulis yakin bahwa maksud penyanyi, pelukis, pencipta gerak adalah menciptaka keindahan. Dan nyatanya, itu pun mampu menyentuh pada pemirsanya. Saat para pemirsa menikmati keindahannya (mungkin karena sama-sama memiliki konsep seni), materi tidak menjadi persoalan. Sebaliknya, saat muncul tinjauan dunia lain dari konsep yang berbeda, materi seni menjadi berkata lain.
Terlepas dari berbagai permasalahan di atas, sekarang apa yang seharusnya guru perbuat untuk menanamkan perasaan seni terhadap anak didiknya di sekolah. Kita tahu bahwa daya apresiasi seni setiap orang itu berbeda-beda. Sebagai bukti nyata selain tersebut di atas, yakni saat pemanggungan hasil pertunjukkan seni sastra etnik di Taman Budaya, ada seorang pengamat mengatakan bahwa hasil pertunjukkan peserta gagal, sementara yang lain berpendapat bahwa pertunjukkan itu sukses atau cukup bisa dinikmati (dengan alasan, karena hanya dalam kurun waktu 2 hari saja, peserta diklat sudah mampu menampilkannya, walaupun masih ada kekurangan di sana-sini).
Barangkali berbekal dari pengalaman itulah, yang mengharuskan guru untuk segera merubah paradikma mengajarnya. Mengajarkan seni (dalam arti luas) janganlah hanya bertujuan untuk mengembangkan pengetahuan siswa tentang seni saja, tetapi juga keterampilan, kreativitas, dan apresiasi dalam bidang seni itu sendiri (Bende 23, 2005: 55). Dengan demikian kepekaan siswa terhadap hasil karya seni semakin tajam.
Realita menunjukkan bahwa kenakalan remaja dewasa ini (termasuk siswa didalamnya) merajalela dimana-mana. Remaja tawuran, melakukan tindak kekerasan dan penganiayaan, mencuri dan merampok, berani terhadap guru dan menentang orangtua, bermalas-malasan dengan minum-minuman keras, berkhayal dengan menghisap sabu-sabu serta ganja, dsb. Berita-berita tentang kenakalan remaja itu kini seakan-akan sudah menjadi santapan rutin dalam kehidupan sehari-hari kita. Di berbagai media tak pernah absen untuk menginformasikannya, apa itu melalui media cetak atau elektronika. Ada-ada saja kenakalan remaja yang merupakan sajian utama dalam media- media tersebut.
Fenomena ini benar-benar membuktikan bahwa moral atau budi pekerti luhur anak bangsa mulai kehilangan kepekaannya. Para remaja tidak lagi halus perasaannya, pudar belas kasihnya, luntur sopan santunnya, kehilangan cinta antarsesama dan tiada memiliki ketulusan serta rasa sayang. Kecerdasan emosionalnya benar-benar tumpul, sehingga hati nurani mereka menjadi keras dan gersang. Said Tuhuleley, wakil pemimpin redaksi majalah “Gerbang” pun berkomentar, “Jangan-jangan perkelahian pelajar yang marak belakangan ini salah satu sebabnya ialah perasaan dan hati nurani para murid tidak terasa baik, dan jangan-jangan pula itu semua terjadi karena pendidikan sastra kita belum sepenuhnya diarahkan pada tujuan mulia itu” (Gerbang edisi 10 th 2005: 5)
Selanjutnya, perlu kita ketahui bersama bahwa fungsi pendidikan nasional kita adalah mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan YME, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab (UU Sisdiknas 20/2003). Tentunya, pendidikan seni kita diharapkan dan harus diarahkan turut berperan dalam mengembangkan kemampuan siswa seutuhnya (dalam arti, untuk mencerdaskan pikiran siswa, mengasah keterampilan siswa, dan juga mematangkan hati nurani/emosinya).
Pendidikan memang bukan hanya beban guru, melainkan tanggungjawab bersama 3 lembaga pendidikan, yakni keluarga, sekolah, dan masyarakat. Tetapi, guru harus paham akan keberadaannya di tiap sekolah. Guru memiliki tugas dan kewajiban ganda, yakni mendidik, mengajar, dan melatih. Bukan hanya itu, guru merupakan ujung tombak pendidikan di sekolah. Para siswa atau anak bangsa tersebut akan dibawa kemana, gurulah panutan utama. Guru juga suri tauladan yang baik bagi anak bangsa. Oleh karena itu jangan biarkan siswa hanya cerdas pikirannya, cerdaskan hati nuraninya, positifkan moralnya, haluskan emosionalnya, serta tumbuhkan pula kepekaan terhadap berbagai masalah yang ada di lingkungannya. Pendidikan seni, salah satu jalan untuk menuju Roma. Biarlah pendidikan seni bukan merupakan syarat utama kelulusan siswa, biarlah pendidikan seni tidak ikut diperhitungkan dalam UNAS, guru pendidikan seni tetap harus bertekad membantu perkembangan anak bangsa menuju kesempurnaan kedewasaannya. Dengan demikian mereka (calon pewaris tunggal tongkat estafet pembangunan negara) akan menjadi manusia-manusia idaman yang bermanfaat bagi negara, bangsa, dan agama.*


( oleh Dra. Karti Tuhu Utami )
(termuat di Majalah Bende, Edisi 35, September 2006)

Berbicara masalah seni, tentunya tidak terlepas dari segi keindahannya. Seni apa saja, apa itu seni musik, seni tari, seni lukis, seni suara, seni sastra, seni drama, seni pahat, dsb. Dalam kamus telah dituliskan pengertian seni secara panjang lebar bahwa seni adalah 1) halus (tt rabaan); kecil dan halus; tipis dan halus; lembut dan enak didengar (tt suara); mungil dan elok ( tt tubuh), 2) keahlian membuat karya yang bermutu (dilihat dari segi kehalusannya, keindahannya, dsb)- misal: seni bangunan, yakni seni tt keindahan dalam membuat bangunan; seni rakyat yakni kesenian masyarakat banyak dibentuk yang dapat menimbulkan rasa indah yang diciptakan sendiri oleh anggota masyarakat yang hasilnya merupakan milik bersama (KBBI 1995: 816).
Kita sering merasakan keindahan suatu seni, tetapi kadang sulit untuk menentukan kriteria keindahan karya seni itu sendiri.
Anehnya, teman sebelah kita atau orang lain di luar sana juga mengatakan sama dengan pendapat kita. Bagaimana tarian tadi? Dia menjawab ,”Bagus!”. Bagaimana hasil karya sastra ini? Beliau menjawab, “Indah!”. Bagaimana pementasan drama tadi malam? Mereka menjawab, “Amat memuaskan!” dsb. Sebaliknya, manakala kita mengatakan bahwa seni-seni tersebut tidak indah, hampir semua juga berpendapat sama. Yang menjadi pokok persoalan di sini, “Benarkah keindahan seni tidak berdasarkan suatu kriteria?” Kalau memang begitu, tentu bersifat subyektivitas sekali alias tergantung pada perasaan penikmat seni itu sendiri.
Pada saat penulis mengikuti kegiatan Gladi Sastra Etnik di Taman Budaya Surabaya pada tanggal 29-31 Mei 2006, penulis sempat menanyakan kepada Mas Bonari Nabonenar. Penulis mengatakan bahwa di Majalah Panyebar Semangat pernah terbaca cerkak (cerita pendek) yang menurut penulis tidak bagus, tetapi mengapa dimuat? Maksud penulis bukan setiap cerkak di PS tersebut kurang bagus semua, yang bagus lainnya masih banyak. Sebenarnya, bagaimana sih kriteria keindahan suatu hasil karya itu? Kurang lebihnya demikian yang penulis tanyakan. Ternyata, Mas Bonari tidak memberikan batasan tertentu, beliau hanya menatakan bahwa saya (penulis) sudah memiliki kemampuan untuk menilai hasil karya. Hal ini terbukti penulis sudah bisa menyatakan, “bagus atau tidak”.
Di kesempatan berikutnya, seorang peserta dari Madura (Irianti) juga menanyakan, “Bagaimana pemirsa/penonton bisa menikmati suatu kreasi seni, sementara mereka tidak mengerti sama sekali bahasa yang dipergunakan dalam seni pertunjukan hasil karya? “Mas Sendang Mulyono dari Semarang pun berkomentar bahwa banyak ragam seni, yang walaupun tidak dimengerti bahasanya, tetapi dapat juga dinikmati keindahannya. Beliau menegaskan bahwa seni itu selalu dapat dinikmati keindahannya oleh siapa pun, kalau memang hasil karya tersebut benar-benar “indah”.
Penulis amat setuju dan amat mendukung sekali akan pendapat itu. Sebab, penulis memang bisa enjoy menikmati lagu “Denpasar Moon, Poco-Poco, Aserege”, dsb. saat dikumandangkan, padahal penulis tidak mengerti sama sekali maksud dan isi syair lagunya. Nah, semacam inilah sebenarnya yang menjadi rawan, banyak menimbulkan polemik dan salah faham. Masyarakat awam sih tidah salah, karena memang hanya sekedar menikmatinya. Lihat saja si Kecil, dia melantunkan temang Cucak Rowo di mushollah. Para siswa juga menikmati indahnya lukisan vulgar kemolekan wanita (payudara, paha, pantat) saat rekreasi di Bali. seorang kakek asyik menikamti goyang pinggul para penyanyi di layar kaca saat anak cucunya tidak di rumah, dsb. Penulis yakin bahwa maksud penyanyi, pelukis, pencipta gerak adalah menciptaka keindahan. Dan nyatanya, itu pun mampu menyentuh pada pemirsanya. Saat para pemirsa menikmati keindahannya (mungkin karena sama-sama memiliki konsep seni), materi tidak menjadi persoalan. Sebaliknya, saat muncul tinjauan dunia lain dari konsep yang berbeda, materi seni menjadi berkata lain.
Terlepas dari berbagai permasalahan di atas, sekarang apa yang seharusnya guru perbuat untuk menanamkan perasaan seni terhadap anak didiknya di sekolah. Kita tahu bahwa daya apresiasi seni setiap orang itu berbeda-beda. Sebagai bukti nyata selain tersebut di atas, yakni saat pemanggungan hasil pertunjukkan seni sastra etnik di Taman Budaya, ada seorang pengamat mengatakan bahwa hasil pertunjukkan peserta gagal, sementara yang lain berpendapat bahwa pertunjukkan itu sukses atau cukup bisa dinikmati (dengan alasan, karena hanya dalam kurun waktu 2 hari saja, peserta diklat sudah mampu menampilkannya, walaupun masih ada kekurangan di sana-sini).
Barangkali berbekal dari pengalaman itulah, yang mengharuskan guru untuk segera merubah paradikma mengajarnya. Mengajarkan seni (dalam arti luas) janganlah hanya bertujuan untuk mengembangkan pengetahuan siswa tentang seni saja, tetapi juga keterampilan, kreativitas, dan apresiasi dalam bidang seni itu sendiri (Bende 23, 2005: 55). Dengan demikian kepekaan siswa terhadap hasil karya seni semakin tajam.
Realita menunjukkan bahwa kenakalan remaja dewasa ini (termasuk siswa didalamnya) merajalela dimana-mana. Remaja tawuran, melakukan tindak kekerasan dan penganiayaan, mencuri dan merampok, berani terhadap guru dan menentang orangtua, bermalas-malasan dengan minum-minuman keras, berkhayal dengan menghisap sabu-sabu serta ganja, dsb. Berita-berita tentang kenakalan remaja itu kini seakan-akan sudah menjadi santapan rutin dalam kehidupan sehari-hari kita. Di berbagai media tak pernah absen untuk menginformasikannya, apa itu melalui media cetak atau elektronika. Ada-ada saja kenakalan remaja yang merupakan sajian utama dalam media- media tersebut.
Fenomena ini benar-benar membuktikan bahwa moral atau budi pekerti luhur anak bangsa mulai kehilangan kepekaannya. Para remaja tidak lagi halus perasaannya, pudar belas kasihnya, luntur sopan santunnya, kehilangan cinta antarsesama dan tiada memiliki ketulusan serta rasa sayang. Kecerdasan emosionalnya benar-benar tumpul, sehingga hati nurani mereka menjadi keras dan gersang. Said Tuhuleley, wakil pemimpin redaksi majalah “Gerbang” pun berkomentar, “Jangan-jangan perkelahian pelajar yang marak belakangan ini salah satu sebabnya ialah perasaan dan hati nurani para murid tidak terasa baik, dan jangan-jangan pula itu semua terjadi karena pendidikan sastra kita belum sepenuhnya diarahkan pada tujuan mulia itu” (Gerbang edisi 10 th 2005: 5)
Selanjutnya, perlu kita ketahui bersama bahwa fungsi pendidikan nasional kita adalah mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan YME, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab (UU Sisdiknas 20/2003). Tentunya, pendidikan seni kita diharapkan dan harus diarahkan turut berperan dalam mengembangkan kemampuan siswa seutuhnya (dalam arti, untuk mencerdaskan pikiran siswa, mengasah keterampilan siswa, dan juga mematangkan hati nurani/emosinya).
Pendidikan memang bukan hanya beban guru, melainkan tanggungjawab bersama 3 lembaga pendidikan, yakni keluarga, sekolah, dan masyarakat. Tetapi, guru harus paham akan keberadaannya di tiap sekolah. Guru memiliki tugas dan kewajiban ganda, yakni mendidik, mengajar, dan melatih. Bukan hanya itu, guru merupakan ujung tombak pendidikan di sekolah. Para siswa atau anak bangsa tersebut akan dibawa kemana, gurulah panutan utama. Guru juga suri tauladan yang baik bagi anak bangsa. Oleh karena itu jangan biarkan siswa hanya cerdas pikirannya, cerdaskan hati nuraninya, positifkan moralnya, haluskan emosionalnya, serta tumbuhkan pula kepekaan terhadap berbagai masalah yang ada di lingkungannya. Pendidikan seni, salah satu jalan untuk menuju Roma. Biarlah pendidikan seni bukan merupakan syarat utama kelulusan siswa, biarlah pendidikan seni tidak ikut diperhitungkan dalam UNAS, guru pendidikan seni tetap harus bertekad membantu perkembangan anak bangsa menuju kesempurnaan kedewasaannya. Dengan demikian mereka (calon pewaris tunggal tongkat estafet pembangunan negara) akan menjadi manusia-manusia idaman yang bermanfaat bagi negara, bangsa, dan agama.*

12. Pembelajaran Sastra dan Permasalahannya

( oleh Dra. Karti Tuhu Utami )
(termuat di Tabloid Info, Vol. 5, No. 03 Tahun 2006)

Bagaimanakah pembelajaran sastra yang sebenarnya itu? Sudahkah para guru melaksanakannya? Adakah hambatan dalam melakukannya? Apa manfaat bagi siswa bila sastra diajarkannya? dsb. Barangkali segudang pertanyaan akan muncul bila kita berbicara masalah sastra.
Pernah terlontar sebuah pertanyaan dari seorang siswa saat penulis mengajarkan apresiasi sastra . Pertanyaannya sederhana sekali, “Bu, apa yang Ibu ceritakan itu sungguh-sungguh terjadi?” Penulis pun menjawab, “Ya tidaklah Nak!” Siswa melanjutkan, “kalau tidak, mengapa diajarkan? Percuma kan Bu, belajar kok yang bohong-bohong!” kilahnya jujur sekali tanpa beban.
Waktu itu penulis membahas cerita pewayangan, yakni kelahiran Adipati Karna. Pandawa lima itu kan mempunyai ibu yang berbeda. Pertama, Dewi Kunti dan yang kedua Dewi Madrim. Ibu Kunti dan Pandu menurunkan tiga putera, yakni Puntadewa, Yudistira, dan Arjuna. Sedangkan Ibu Madrim dan Pandu menurunkan putera kembar yaitu Nakula dan Sadewa. Sebelum Dewi Kunti menikah dengan Pandu, Kunti sudah mempunyai seorang anak bernama Karna. Kehamilan dan kelahiran Karna inilah yang memiliki keganjilan. Keanehannya, Dewi Kunti hamil bukan karena menikah, tetapi hanya dengan dipandang seorang dewa langsung hamil. Penulis sempat berkelakar saat itu dengan mengatakan, “Untung Nak, Dewa tersebut sekarang sudah tidak ada. Andaikan masih ada dan terus mengintip kita di sini, maka akan terjadilah kehamilan massal”. Para siswa pun tertawa mendengar kelakar penulis. Penulis melanjutkan, bahwa setelah kejadian itu, Dewi Kunti pun sering menangis akan takdirnya itu. Dia merasa kecewa dan sedih, mengapa harus hamil, padahal belum bersuami? Dia tak henti-hentinya berdoa, agar diberikan petunjuk dan jalan keluarnya. Akhirnya, Sang Dewa tersebut memberikan keajaiban lagi pada Sang Dewi. Sang jabang bayinya lahir tidak sebagaimana mestinya, tetapi ditakdirkan terlahir melalui sebelah telinga Sang Dewi Kunti. Oleh karena itulah, bayi tersebut diberi nama Karna, yang berarti telinga.
Dari sinilah muncul pertanyaan seorang siswa yang kritis tadi. Mendengar pertanyaan yang demikian, penulis tidak marah. Sebab pertanyaan tersebut cukup masuk akal dan tidak berkelebihan sama sekali. Sambil tersenyum, penulis pun memutar otak untuk mencarikan jawaban yang memuaskan. Akhirnya, penulis temukan jawaban itu dengan memberikan contoh-contoh film layar kaca. Apakah certa dalam sinetron ‘Bawang Merah – Bawang Putih’ itu sungguh-sungguh terjadi? Apakah ‘Kisah Sedih di Hari Minggu’ nyata adanya? dsb. Tentu tidak bukan? Tetapi, kenapa murid menontonnya, mengapa siswa menyukainya?
Selanjutnya, penulis menjelaskan bahwa setiap karya sastra yang dicipta, pasti ada maksud, pesan atau amanat yang ingin disampaikan oleh pencipta/pengarangnya. Pesan tersebut ada yang tersurat, ada pula yang tersirat didalamnya. Pembaca/penonton harus mampu mencari dan menemukan serta mengambil hikmah dan harus menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari (itu yang merupakan pesan positif). Adapun contoh yang bersifat negatif, pengarang mengamanatkan agar yang demikian itu ditinggalkan.
Seperti dalam cerita pewayangan tadi, sepertinya pengarang berpesan kepada kaum Hawa bahwa setiap wanita harus bersedih atau minimal memiliki rasa malu saat hamil tanpa suami/sebelum menikah terlebih dahulu. Jangan meniru budaya barat, beranak terlebih dahulu barulah menikah. Selain tidak beradab, itu kan juga melanggar ajaran agama. Kurang lebih demikian yang bisa penulis jelaskan pada siswa kelas 3 (tiga) SMP waktu itu.
Kembali pada pokok persoalan di atas, yakni tentang pembelajaran sastra. Penulis sering melihat bahwa pembelajaran sastra di sekolah hanya sebatas mengajarkan ilmu tentang kesastraannya saja, belum pada apresiasinya. Maksud penulis begini, guru hanya mengajarkan sastra ialah ….., apresiasi sastra adalah …. , yang termasuk Angkatan Balai Pustaka yaitu …. dst. Ini berarti, guru mengajar tentang pengetahuan sastra, bukan apresiasi sastra. Padahal tujuan pembelajaran sastra, bukan hanya menanamkan pengetahuan, tetapi juga keterampilan serta nilai dan sikap. Kalau kegiatan apresiasi sastra kurang/tidak dilatihkan, maka kecerdasan emosional siswa tidak meningkat dan hati nuraninya tidak terasah dengan baik.
Dalam buku ‘Emotional Intelligence –Daniel Goleman menyatakan bahwa generasi sekarang lebih banyak mengalami kesulitan emosional daripada generasi sebelumnya: lebih kesepian dan pemurung, lebih berangasan, dan kurang menghargai sopan santun, lebih gugup dan mudah cemas, lebih impulsive dan agresif. Pernyataan ini merupakan hasil sebuah survei besar-besaran terhadap orantua dan guru-guru yang memperlihatkan adanya kecenderungan yang sama di seluruh dunia.
Kalau penulis boleh berpendapat, salah satu faktor penyebab kesulitan emosional siswa adalah kesalahan para pendidik dalam mengaplikasikan ilmunya. Guru sering lupa bahwa kewajibannya di sekolah ada dua, yaitu mendidik dan mengajar. Sementara ini yang guru kejar adalah kecerdasan otak siswa dan sering mengabaikan kecerdasan emosionalnya. Akibanya, siswa memang cerdas dan pintar, tetapi kadang sering curang. Siswa memang pandai dan lihai, tetapi sering tidak berperasaan, dsb. Bapak Said Tuhuleley (wakil redaksi majalah pendidikan ‘Gerbang’} pun berkata, “Jangan-jangan perkelahian pelajar yang marak belakangan ini salah satu sebabnya ialah perasaan dan hati nurani para murid tidak terasah baik, dan jangan-jangan pula itu semua terjadi karena pendidikan sastra kita belum sepenuhnya diarahkan pada tujuan mulia itu” (Gerbang, edisi 10, th.2005: 5).
Bila penulis amati di lapangan, guru bahasa bukan tidak mau menerapkan apresiasi sastra saat pembelajaran, tetapi memang ada beberapa permasalahan yang harus dipecahkan, diantaranya :
1. Di beberapa sekolah, mata pelajaran bahasa masih diajarkan oleh guru yang bukan vaknya, karena memang kekurangan tenaga guru bahasa tersebut.
2. Kekurangan literature yang berkaitan dengan materi dan metode tentang pembelajaran sastra atau apresiasinya, yang berakibat dangkalnya pengetahuan guru bahasa itu sendiri. Materi saastra guru hanyalah sebatas buku yang harus diajarkan kepada siswanya saja.
3. Guru bahasa hanya lebih banyak mengajarkan aspek kebahasaan dan sedikit keterampilan berbahasa serta mengabaikan kegiatan apresiasi sastra.
4. Guru bahasa enggan melatihkan apresiasi sastra pada siswanya, sebab kegiatan apresiasi menyita banyak tenaga dan pikiran. Lebih-lebih bagi guru bahasa yang memiliki bisnis tertentu, kegiatan apresiasi sastra benar-benar akan dianggap sesuatu yang idak menghasilkan atau merugikan.
5. Keterbatasan waktu tatap muka yang tersedia, yang didukung dengan saratnya bahan/isi kurikulum. Akibatnya, siswa tak sempat melaksanakan apresiasi sastra secara baik atau mungkin sempat melakukannya, tetapi tergesa-gesa sehingga hasilnya tidak maksimal.
6. Kurangnya minat siswa pada materi sastra dan kegiatan apresiasinya. Hal ini disebabkan oleh pembelajaran sastra yang kurang/tidak menarik dan juga kurang luasnya pengetahuan siswa tentang tujuan pembelajaran sastra. Sehingga siswa beranggapan bahwa materi sastra kurang layak dikonsumsi dan meremehkannya.
7. Guru dan kepala sekolah salah dalam menanamkan disiplin ilmu, yang lebih mengutamakan materi Ebtanas saja. Padahal itu hanya melatih kecerdasan intelektual siswa dan sama sekali tidak mengasah kecerdasan emosional anak bangsa. Guru dan kepala sekolah sering lupa bahwa tujuan pembelajaran meliputi 3 aspek yakni menanamkan pengetahuan, memberikan keterampilan, serta menumbuhkan nilai dan sikap siswa.
8. Adanya toleransi yang tinggi dari guru bahasa itu sendiri, mengingat tugas-tugas siswa dari materi pelajaran lain yang sudah bertumpuk-tumpuk sehingga kegiatan apresiasi sastra harus dikurangi.
9. Semakin pesat dan majunya teknologi dan industri, sehingga semakin merangsang setiap anak bangsa untuk segera mempelajarinya. Lebih-lebih disadarinya bahwa masa depan pembelajaran teknologi dan industri tesebut lebih menjanjikan daripada harus mempelajari sastra dan apresiasinya.
10. Kurangnya dukungan orangtua akan pembelajaran sastra. Orangtua enggan membelikan buku-buku bacaan yang berkaitan dengan sastra, sehingga siswa turut menjauhinya.
Demikian pembelajaran sastra dan beberapa permasalahan yang bisa penulis sampaikan, mudah-mudahan menjadikan perhatian kita bersama, sekaligus menggugah semangat para guru bahasa pada khususnya dan para pendidik pada umumnya.*

11. NIYATE SUCI

(termuat di Panyebar Semangat No.46-15 Nopember 2008)

mas, aku pancen bojomu
nanging aja kokpenggak aku
kae lho incengen pawonku
marone panggah adhem ndhuwur tungku

wetengku?
wetenge anak-anakku?
ngelih mas, sembarangku!
+ suci, enggal mangkata!
ning aja dawa-dawa, kuwi dosa!
- ndara kakung yagene bingung!
sajake ketigane rak isih landhung
delengensemburate langit rung katon mendhung

niyate suci wis bunder
ngoyakkesenengan sing mung sak-ler
pak suci pancen kelangan bleger
mak suci trus ngupaya pawana seger
suci, wadon pinter mingar-minger
limpad lantip golek kober
keblinger nerak wewaler nrajang bebener

+ ngati-ati adhiku suci!
kabeh iki tan luput socane Illahi
- kowe wis nglilani aku mas
dosaku, kowe sing bakal ngentas

suci banjur mangkat nyangking tas
binonceng kanoman bregas jejuluk mas
wadon jati kumawani mring guru laki
susah sedhih mbrebes mili pak suci ndulu gantilane ati

Jumat, 19 September 2008

10. Pro Kontra Piwulangan Unggah-ungguh Basa

(termuat di Mingguan Jaya Baya no. 28, Maret 2008)
(dening Karti Tuhu Utami)

Minangka guru basa Jawa, mongkoging atiku kaya-kaya ora bisa kagambarake. Mbokmanawa wae kena diparibasakake kadya nemu emas sakebo gedhene. Geneya mangkono? Iki gara-gara kawicaksanane Bapak Kepala anyarku, Drs. H. Abdul Rofiq Samsunnahar, M.Pd. Sarehne obah ngarep wusanane ya banjur kobet mburi.
Lha iya wis pirang-pirang puluh taun anggonku mulang Basa Jawa, rumangsaku kok lagi taun iki Basa Jawa entuk kawigaten mligi. Pangarsa sekolah dhawuh yen kanggo nyiyagakake SBI (Sekolah Berstandar Internasional), sawijine lembaga pendidikan kudu darbe ciri khas. Panjenengane nuli ngumandangake telung budaya sing kudu diterapake ing SMPN 1 Bangil, Kabupaten Pasuruan yaiku: kapisan, English Day (sedina ngomong nganggo basa Inggris); kapindho, Krama Inggil Day (sedina ngomong nganggo basa Krama Inggil) lan katelune, ngulinakake 3 S (Senyum, Salam, Salim) saben dina nalika wiwit mlebu regol sekolahan.
Program sekolah ‘Krama Inggil Day’, kang kudu katindakake saben dina Sabtu dening warga sekolah kasebut mujudake pamecut tumrapku anggone nggladhi siswa amrih bisa komunikasi nganggo basa Jawa krama. Gegayutan karo iku aku terus ‘jemput bola.’ Angger miwiti mlebu kelas (utamane kelas 9), aku atur pambagya, “Sugeng enjing, cah?” ... “Kadospundi kabar panjenengan?” ... Siswaku enggal mangsuli, “Sugeng enjing, Bu?” ... “Apik-apik wae!” ... “Bu, punapa basa kramane apik?” .. “Sae!” (wangsulanku) ... “Bu, kok panjenengan ngendikan panjenengan dhateng kula, mesthinipun rak kowe utawi sampeyan, wong kula menika taksih lare cilik?”
Aku mesem keprungu salah siji pitakone bocah kritis. Aku enggal mangsuli, “Ngene lho, Nak! Sakjane murid marang gurune iku kudu basa krama inggil, dene guru marang muride kudune basa ngoko. Geneya aku (minangka guru) kok ngetrepake basa krama inggil kanggomu? Iki mung saderma ngulinakake Kowe, supaya Kowe wasis ngetrepake basa krama inggil utawa paling ora ya kulina krungu pigunane tembung-tembung krama inggil kanthi trep. Pamikirku, yen Kowe ora nate krungu babar pisan, mesthine Kowe arep bakal wani utawa bisa ngomong nganggo basa krama inggil. Cethane, guru ngetrepake basa krama inggil tumrap siswane iku ora apa-apa. Iki rak sawijining strategi pembelajarane guru supaya nggayuh tujuan!“
Liya dina ing kelas kang beda, pitakonan padha uga keprungu. Aku ya tetep aweh wangsulan kang ora beda kaya wingi-wingi. Wusanane, para siswaku ngerti sing dakkarepake. Sawatara siswaku ya wiwit ana sing wani nyapa aku nganggo basa krama inggil, “Sugeng siyang, Bu? ... Panjenengan badhe tindak pundi? ... Menapa ingkang panjenengan asta?” lsp. Bubar takon-takon kaya mangkono mau, aku ya ora terus meneng, enggal wae daktakoni genti, “Sugeng siyang, Nak! ... Kula badhe dhateng ruwang guru! ... Kula samenika saweg nyepeng buku! Lah, panjenengan ugi badhe tindak pundi? Lajeng menapa ingkang panjenengan cepeng? ...” lsp.
Suwening-suwe pakulinanku ngetrepake tembung “panjenengan tumrap siswa” saya amba tebane nganti kepireng guru-guru liyane. Banjur, tuwuh pitakonan kang padha maneh saka saperanganing kanca guru. Aku ya panggah aweh wangsulan kaya wingi uni, kaya sing nate dakwenehake marang para siswaku. Wusanane nganti dinane iki isih ana saweneh guru kang ora sarujuk marang panemuku, “Mosok, kabeh siswane dipanjenengan-panjenengan, gak kuwalik tah?” celuluke.
Sejatine, ketemben ngerti kersane Pangarsa Sekolah bab arep dibudayakake “Basa Krama Inggil” ing dina tartamtu, kang dingendikakake nalika upacara rutinan dina Senin kepungkur, ati iki uga goreh. Bapak Kepala pancen ora sacara langsung aweh jejibahan kasebut marang aku, nanging minangka guru basa Jawa, ya wis samesthine yen aku mujudake pawongan kapisan kang darbe tanggungjawab marang kasil orane program mau (Eling-eling, aku pancen guru basa Jawa siji-sijine ing sekolahan kasebut).
Wusanane aku wiwit mikir, strategi apa lan kepriye sing bisa cepet ngasilake utawa nggayuh tujuan. Aku banjur ngeling-eling jaman kawuri lan enggal nakoni awakku dhewe, “Piye ta larah-larahe biyen, kok aku saiki dadi bisa basa, kamangka lingkunganku wektu iku ora nyengkuyung babar pisan?” Anggonku mikir bab kasebut ora cukup sakjam-rong jam, nanging nganti sawatara dina suwene. Aku terus kelingan marang guruku SPG biyen yaiku panjenengane Bapa Abi Kusno. Bapa Abi Kusno kasebut yen mulang siswa dhong piwulangan Basa Daerah, panjenengane ya ngetrepake tembung panjenengan marang kabeh siswane. Aku banjur nuladha strategi kasebut.
Ora mung iku wae, ing minggu-minggu keri-keri iki nalika mlebu kelas, aku wiwit ngulinakake ngomong nganggo basa krama inggil ing dalem wektu sepuluh utawa limalas menit. Kadang nyapa siswa, nakoni siswa, crita kegiyatan esukku wektu iku, crita pengalamaku maca buku, ngrembug isine cerkak, lsp. Kabeh mau dakbabar nganggo basa krama inggil.
Bebarengan karo iku, tan lali dakupayakake ana salah siji utawa loro siswaku sing kudu gelem maju ngarep kelas, nuli nindakake kegiyatan kang padha karo aku. Anggone ngutus, aku ora nunjuk langsung nanging kanthi cara lelangan. Sapa sing wani maju daksumanggakake, sing durung wani dakwenehi motivasi.
Tumraping siswa sing wis gelem crita/ngomong nganggo basa krama inggil ing ngarep kelas, jenenge banjur dakcathet ing buku jurnalku. Iki minangka pratandha yen siswa wis entuk poin mligi tumrap kabisane.
Perlu kawuningan, sakehing rerangken kegiyatanku mau daktindakake ora ana tujuan liya, kajaba mung supaya siswa bisa nyemak/kulina krungu tembung-tembung krama inggil lan bisa ngomong nganggo basa krama inggil. Kanthi mangkono, siswa dadi sugih tetembungan lan kendel ndungkapake panguneg-unege mawa basa Jawa cundhuk karo unggah-ungguhe.. Rumangsaku kok ya ana owah-owahan tumrap siswaku sawise kabeh mau daktrepake. (senajan ta aku isih durung nliti kanthi premati asil strategi kasebut).
Isih gegayutan karo program budaya Jawa, Kaur OSIS SMP-ku uga paring kalodhangan kanggo aku supaya ngrembakakake Sastra lan Basa Jawa liwat kegiyatan ekstrakurikuler. Mesthine, bab iki magepokan karo bengkel sastra (maca lan yasa guritan, ndhapuk cakepan tembang lan gladhen nembang Macapat, maca lan ngripta cerkak, gawe naskah pidhato lan gladhen pidhato, lsp).
Sejatine magepokan karo tulisan utawa irah-irahanku ing dhuwur, ana siji karep sing dakajab saka pamaos, “Sepisan, mbok tulung aku diparingi iguh pratikel kepriye carane nggladhi siswa supaya luwih cepet bisa ngetrepake basa krama inggil. Kapindho, materi apa wae sing bisa kanggo isine kegiatan ekstrakurikuler bengkel sastra lan sastra Jawa? Karepku, mumpung angine wiwit seger lan rodhane piwulangan basa Jawa ing SMP-ku lagi manggon ing dhuwur!”
Muga-muga panyuwunku enggal entuk tanggapan saka sok sapaa wae sing tresna marang basa, sastra, lan budaya Jawa. Kanthi mangkono sanggaku sing abot ning nyenengake tur agawe mongkog iki enggal entheng lan maremake.***

9. Nandur Budi Pekerti Luhuring Siswa Liwat Geguritan

(termuat di Majalah Panyebar Semangat, No.6, Taun 2003)

Kaya kang kawuningan yen pemerintah kita wiwit mrogramake Pendhidhikan Budi Pekerti liwat Pendhidhikan Dhasar (SD/MI, SLTP/MTs) lan Pendhidhikan Menengah (SMU/SMK/MA) sacara komprehensif, sinambungan, lan sinergis. Strategi tumapake program Pendhidhikan Budi Pekerti iki diorganisasekake minangka bagean integral saka mata pelajaran kang relevan kayadene Pendhidhikan Agama, PPKn, sarta Basa lan Sastra Indonesia. Dene tumindake wiwit dilaksanakake TP. 2001/2002.
Apa ta sing dikarepake Pendhidhikan Budi Pekerti iku? Pendhidhikan Budi Pekerti yaiku proses pendhidhikan kang ditujokake kanggo ngrembakakake nilai, sikap, lan perilakune siswa kang nyunarake akhlak kang mulya/luhur. Dene nilai-nilai budi pekerti sing dikarepake, upamane: amal saleh, amanah, duweni prasangka becik, kerja kanthi semangat, wani tumindak bener, wani nanggung resiko, dhisiplin, duweni imtaq, duweni inisiatif, prasaja, konstruktif, tanggung jawab, tenggang rasa, wicaksana, cerdhas, cermat, demokratis, dinamis, efisien, gemi, ekhlas, jujur, ksatriya, kreatif, mandiri, manusiawi, ngurmati panemune liyan, ngurmati wektu, prodhuktif, sregep, duweni rasa isin, sabar, setya, adil, sopan-santun, tawakal, ulet, lsp. (Pendidikan Budi Pekerti, Deppenas Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah Jakarta, 2000).
Para pendhidhik umume lan mligine para guru nyambut kanthi becik anane programing pemerintah mau. Eling-eling arep diwiwitine Pasar Bebas Asia-Afrika (AFTA) ing taun 2002 iki lan bakal tekane Pasar Bebas Internasional (NOFTA) ing taun 2010 mengko. Kita bisa mbayangake ing pasar bebas kasebut, pira cacahe prodhuk-prodhuk manca sing bakal mlebu menyang negarane dhewe. Mesthine, tekane prodhuk-prodhuk mau uga dibarengi karo budaya-budaya manca kasebut. Yen nganti pondhasi budi pekerti luhure siswa/generasi mudha kita ora kuwat, generasi-generasi mudha kita bakal kanthi gampang kena pengaruh budaya-budaya asing mau. Kamangka budaya-budaya kasebut durung mesthi yen cocok karo situasi kondisi bangsa kita Indonesia. Mula saka iku Pendhidhikan Budi Pekerti kang dadi programing pemerintah iki diajab bisaa kanggo tameng/filter mlebune budaya-budaya asing kasebut.
Senajan ta programe pemerintah mung nulisake mata pelajaran kang relevan iku Pendhidhikan Agama, PPKn sarta Basa lan Sastra Indonesia, dene mata pelajaran Mulok Basa lan Sastra Jawa ora katut tinulisake, guru-guru basa Jawa aja banjur nglokro. Yen manut penulis, mata pelajaran Basa Jawa relevan banget kanggo nandur budi pekerti luhure siswa liwat perangan materi apa wae. Bisa liwat wacanane, kosa katane, strukture, tulisan aksara Jawane, unggah-ungguh basane, luwih-luwih liwat apresiasi sastrane.
Ing ngisor iki penulis nyoba nyuguhake geguritan (salah siji perangan materi apresiasi sastra) kanggo nandur budi pekerti luhure siswa.
Tuladha:
a. Sun nggegurit:
Kahanan jaman samangka,
Sipating mudhi lan mudha,
Srawunge saya ndadra,
Raket nilar ing weweka,
Tan kadya jaman samana,
Tansah nganggo tata krama
(Ringkesan lan Latihan Basa Jawa, kaca 15, Cempaka Putih, Solo)

Yen ginancarake, guritan kasebut dadine mangkene:
Sun nggegurit:
Kaanan ing jaman saiki (jaman era globalisasi)/ sifate pemudha lan pemudhi/ pasrawungane saya kendel (wani)/ pasrawungane dadi rumaket nganti ninggal pangati-ati/ ora kaya jaman biyen (kuna)/ priya lan wanita anggone srawung tansah nganggo tata krama.
Sawise ginancarake, guru mau bisa crita marang siswane akibat-akibate pasrawungan bebas kang ditindakake pemudha-pemudhi ing jaman saiki, upamane: dumadine kasus pelecehan seksual, ilange martabate kaum wanita, para siswa dadi kesusu utawa selak kepengin omah-omah (kamangka durung cukup umure), para siswa dadi pedhot/putus sekolah, para siswa dadi padha ora semangat sekolah lan sinaune. Jalaran mung ngeling-eling kanca rakete, bisa uga dadi dhemen ngapusi wong tuwane (pamit budhal sekolah, jebul mbolos lan dolan karo sayange), lsp.
b. Mbarang
bocah cilik manis kakang-adhi
runtang-runtung nyang endi-endi
nyangking angklung saka bumbung
mlebu lurung metu lurung

bocah cilik manis kedhana-kedhini
runtang-runtung mbarang saparan-paran
ngupa boga nyambung panguripan sadulitan
nambal nistha sing lunga-teka wira-wiri, nrenyuhi

nembanga lagu-lagu, memelasi
mbukak babad ngenesi ati
koncatan bapa-biyung, dheweke tininggal keri

bocah cilik manis kedhana-kedhini
runtang-runtung nyang endi-endi
dina-dina uripe kaliput ayang-ayange mega
( Dyan Annimataya Soer )

Yen ginancarake mangkene:
Ngamen
Bocah cilik loro kakang-adhi kang manis/ tansah runtang-runtung bebarenngan menyang ngendi-endi/ kekarone padha nyangking angklung saka bumbung/ mlebu-metu kampung turut sadawane dalan.
Bocah cilik loro lanang-wadon tunggal bapa biyung/ tansah runtang-runtung bebarengan ngamen ing saparan-paran/ golek pangan kanggo nyambung panguripan sawatara ing alam donya/ kanggo nutup kekurangan utawa kecingkrangan kang lumintu tanpa kendhat, kekarone yen sinawang katon tansah nrenyuhake.
Kekarone bola-bali nembangake lagu-lagu, kang isine melas banget/ isine tembange nyritakake sejarahing uripe kang ngenes-enesi ati/ bocah loro mau tininggal seda bapa-biyunge, ora duweni sanak-sadulur, mung kari dheweke sakloron.
Bocah cilik loro lanang-wadon tunggal bapa-biyung/ tansah runtang-runtung bebarenngan menyang ngendi-endi/ saben dina uripe mung tansah susah lan ora nate tinemu bungah.


Sing bisa dicritakake guru marang siswane ing guritan kasebut yaiku kita minangka manungsa kang urip ing alam donya kudu duweni rasa welas asih mring sapepadha, luwih-luwih maranng bocah yatim piatu. Urip ing alam bonya ngono sedhela, ibarate mung mampir ngombe. Rodha panguripan bakal terus muter, ana kalane ing dhuwur lan ing sawijine mangsa bakal ana ngisor. Samangsa ing dhuwur kita kudu tansah eling, yen sing gawe kita enak, kepenak, seneng, sarwa kecukupan, tansah mubra-mubru iku Gusti Allah. Mula yen ndeleng bocah ngamen kaya ing guritan mau, kita kudu tumindak dermawan. Samangsa kita kepeksa ora bisa derma/asung paweweh, kita kudu alok kanthi basa kang alus, dudu mawa tembung kasar utawa ngina. Pancen yen digathukake klawan kahanan jaman saiki, wong ngamen ngono beda-beda tujuane. Ana sing mung karana hobi (ngene iki sok-sok, ora golek dhuwit, nanging mung kanggo ngembangake bakat/golek pengalaman wae). Ana sing pancen kanggo golek dhuwit. Sing golek dhuwit iki ya isih ana werna loro wujude. Ana sing temen-temen ngupaya dhuwit kanggo nyambung uripe lan ana uga sing olehe dhuwit mung kanggo maksiyat, upamane: kanggo tuku narkoba, kanggo dolan ing papan pelanyahan, kanggo judi/main utawa omben-omben, lsp. uwal saka kabeh iku mau, kita ora perlu golek-golek lan kepengin weruh tujuane wong ngamen, mung wae rak katon cetha ta bedane antarane sing temenan lan sing ora. Yen pancen kita duwe, ya ayo tumindak sedhekah lan yen dhong ora duwe, ya nganggoa tembung kang manis.

c. Critakna Kang Trawaca
wus dakwaca guritanmu
atiku sakal geter
bener, urip iki pancen
kebak misteri, ing ngendi-endi
srengengene ngemu pedhut

wus dakwaca guritanmu
mripatku kala-kala kembeng
apa bener kabeh iki bakal muspra
cuthel, kaca candhake ora ana

critakna,
ana apa ing sajroning puspa kang mekrok kae
gumenggrenge lar tawon kang kumudu nyesep madu
lan barat kang pijer ngulandara

ana apa sabenere
critakna
kang trawaca
(Mukti Sutaman SP)

Yen ginancarake mangkene:
Critakna Kang Trawaca
Aku wis maca critamu ing guritan/nalika dakwaca atiku sakala dadi geter/ bener critamu, yen urip ing alam donya iki pancen/ kebak dening misteri, misteri mau pancen ing ngendi-endi/ tuladhane kaya srengenge kang lagi katutupan pedhut.
Aku wis maca critamu ing guritan/ nalika dakwaca mripatku kala-kala kembeng luh/ aku isih durung precaya nemen/ apa bener kabeh ing alam donya iki bakal muspra/ cuthel (kandheg), crita ing alam donya bakal ora ana maneh kaca candhake (terusane).
Kanca ayo critakna/ ana misteri apa ing sajroning puspa (kembang) kang mekrok (mekar) kae/ swara gumenggrenge lar tawon kang kumudu-kudu nyesep madu/ lan barat (angin) kang tansah ngulandara (ngumbara).
Ana apa sabenere ing alam donya iki/ayo enggal critakna/ critakna kanthi trawaca (cetha/gamblang).

Sing bisa dicritakake marang siswa tumrap guritan kasebut yaiku yen alam donya ngono ora langgeng sipate. Alam donya iku kebak dening misteri. Manungsa iku kudune gelem mikir-mikir sakehing misteri mau, upamane: geneya ana srengenge kok ketutupan pedhut? Ana kembang kok bisa mekrok (mekar)? Ana lar tawon kok bisa nyuwara gumenggreng lan geneya tawon kok seneng nyesep madune kembang? geneya uga angin kok terus ngulandara (ngumbara) lan ora gelem mandheg? Sejatine yen dipikir-pikir sing nyipta lan sing nitahake kabeh mau ora liya ya mung Gusti Allah, semono uga sakabehing isine alam donya iki. Lan prelu kawuningan yen kabeh mau mupangate mung kanggo nyukupi kebutuhane manungsa. Sabanjure kabeh ing alam donya iki pancen ora lestari. Kahanane donya iki yen wis titi mangsane bakal mandheg (ing dina kiamat). Sing langgeng, lestari, lan terus abadi yaiku Sang Khaliq (Gusti Allah) lan alam akherat kang wis ciniptakake.
Ing dhuwur kasebut mung sawatara tuladha kanggo nuwuhake budi pekerti luhure siswa. Guritan-guritan kasebut bisa dijupuk saka buku-buku piwulangan, kalawarti-kalawarti basa Jawa utawa saka Antoligine Bapak Suripan Sadi Hutomo. Kanthi memaca lan mangerteni isine guritan, diajab bisaa siswa thukul sopan-santune, semangate, kejujurane, welas asih mring sapepadha, andhap asor, iman lan taqwane, lsp kaya kang katulis ing nilai-nilai budi pekerti sajrone programe pamarentah kasebut. Ing SLTP iku rak ana materi geguritan kang kudu diwulangake marang siswa. Sadurunge diwaca, siswa rak ya kudu ngerti dhisik karepe. Mula saka iku guru kudu bisa nerangake siji mbaka siji tembung-tembunge kang angel (mawa pegangan bausastra Jawa). Sabanjure njlentrehake ukara siji lan liyane, terus digathuk-gathukake. Ing saben padane lan pungkasane ngupaya bebarengan karo siswane kanggo mangerteni isine guritan kasebut. Sepisan maneh dakambali, sing bisa kanggo nuwuhake budi pekerti luhure siswa iku dudu kok liwat geguritan wae, bisa uga liwat tembang Macapat, liwat crita cekak, dongeng, utawa apresiasi sastra liyane. Materi-materi kabeh mau mung minangka srana kanggo nggayuh tujuwan. Sebab, saben karangan (kang wujud sastra utawa dudu)mesthi duweni pesen sing arep disampekake dening pangriptane marang pamaca. Lan pesen-pesen mau mesthi bakal migunani tumrap ngaurip ing madyaning bebrayan, mulane ya kudu digoleki. Muga-muga sing daktulis iki bisa nggrengsengake semangate para guru basa Jawa anggone kiprah ing era globalisasi iki.