SELAMAT DATANG DAN BERGABUNG DENGAN KAMI

BACA DAN NIKMATILAH ARTIKEL-ARTIKEL SASTRA DAN BAHASA KAMI YANG TELAH TERMUAT DI BEBERAPA MEDIA MASSA, BAIK DALAM BENTUK BAHASA JAWA MAUPUN INDONESIA!

PENYEMANGAT

KEJAR TERUS DUNIA MAYA, ENGKAU PASTI MENDAPATKAN SEGALANYA!

Rabu, 25 Maret 2009

12. Pembelajaran Sastra dan Permasalahannya

( oleh Dra. Karti Tuhu Utami )
(termuat di Tabloid Info, Vol. 5, No. 03 Tahun 2006)

Bagaimanakah pembelajaran sastra yang sebenarnya itu? Sudahkah para guru melaksanakannya? Adakah hambatan dalam melakukannya? Apa manfaat bagi siswa bila sastra diajarkannya? dsb. Barangkali segudang pertanyaan akan muncul bila kita berbicara masalah sastra.
Pernah terlontar sebuah pertanyaan dari seorang siswa saat penulis mengajarkan apresiasi sastra . Pertanyaannya sederhana sekali, “Bu, apa yang Ibu ceritakan itu sungguh-sungguh terjadi?” Penulis pun menjawab, “Ya tidaklah Nak!” Siswa melanjutkan, “kalau tidak, mengapa diajarkan? Percuma kan Bu, belajar kok yang bohong-bohong!” kilahnya jujur sekali tanpa beban.
Waktu itu penulis membahas cerita pewayangan, yakni kelahiran Adipati Karna. Pandawa lima itu kan mempunyai ibu yang berbeda. Pertama, Dewi Kunti dan yang kedua Dewi Madrim. Ibu Kunti dan Pandu menurunkan tiga putera, yakni Puntadewa, Yudistira, dan Arjuna. Sedangkan Ibu Madrim dan Pandu menurunkan putera kembar yaitu Nakula dan Sadewa. Sebelum Dewi Kunti menikah dengan Pandu, Kunti sudah mempunyai seorang anak bernama Karna. Kehamilan dan kelahiran Karna inilah yang memiliki keganjilan. Keanehannya, Dewi Kunti hamil bukan karena menikah, tetapi hanya dengan dipandang seorang dewa langsung hamil. Penulis sempat berkelakar saat itu dengan mengatakan, “Untung Nak, Dewa tersebut sekarang sudah tidak ada. Andaikan masih ada dan terus mengintip kita di sini, maka akan terjadilah kehamilan massal”. Para siswa pun tertawa mendengar kelakar penulis. Penulis melanjutkan, bahwa setelah kejadian itu, Dewi Kunti pun sering menangis akan takdirnya itu. Dia merasa kecewa dan sedih, mengapa harus hamil, padahal belum bersuami? Dia tak henti-hentinya berdoa, agar diberikan petunjuk dan jalan keluarnya. Akhirnya, Sang Dewa tersebut memberikan keajaiban lagi pada Sang Dewi. Sang jabang bayinya lahir tidak sebagaimana mestinya, tetapi ditakdirkan terlahir melalui sebelah telinga Sang Dewi Kunti. Oleh karena itulah, bayi tersebut diberi nama Karna, yang berarti telinga.
Dari sinilah muncul pertanyaan seorang siswa yang kritis tadi. Mendengar pertanyaan yang demikian, penulis tidak marah. Sebab pertanyaan tersebut cukup masuk akal dan tidak berkelebihan sama sekali. Sambil tersenyum, penulis pun memutar otak untuk mencarikan jawaban yang memuaskan. Akhirnya, penulis temukan jawaban itu dengan memberikan contoh-contoh film layar kaca. Apakah certa dalam sinetron ‘Bawang Merah – Bawang Putih’ itu sungguh-sungguh terjadi? Apakah ‘Kisah Sedih di Hari Minggu’ nyata adanya? dsb. Tentu tidak bukan? Tetapi, kenapa murid menontonnya, mengapa siswa menyukainya?
Selanjutnya, penulis menjelaskan bahwa setiap karya sastra yang dicipta, pasti ada maksud, pesan atau amanat yang ingin disampaikan oleh pencipta/pengarangnya. Pesan tersebut ada yang tersurat, ada pula yang tersirat didalamnya. Pembaca/penonton harus mampu mencari dan menemukan serta mengambil hikmah dan harus menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari (itu yang merupakan pesan positif). Adapun contoh yang bersifat negatif, pengarang mengamanatkan agar yang demikian itu ditinggalkan.
Seperti dalam cerita pewayangan tadi, sepertinya pengarang berpesan kepada kaum Hawa bahwa setiap wanita harus bersedih atau minimal memiliki rasa malu saat hamil tanpa suami/sebelum menikah terlebih dahulu. Jangan meniru budaya barat, beranak terlebih dahulu barulah menikah. Selain tidak beradab, itu kan juga melanggar ajaran agama. Kurang lebih demikian yang bisa penulis jelaskan pada siswa kelas 3 (tiga) SMP waktu itu.
Kembali pada pokok persoalan di atas, yakni tentang pembelajaran sastra. Penulis sering melihat bahwa pembelajaran sastra di sekolah hanya sebatas mengajarkan ilmu tentang kesastraannya saja, belum pada apresiasinya. Maksud penulis begini, guru hanya mengajarkan sastra ialah ….., apresiasi sastra adalah …. , yang termasuk Angkatan Balai Pustaka yaitu …. dst. Ini berarti, guru mengajar tentang pengetahuan sastra, bukan apresiasi sastra. Padahal tujuan pembelajaran sastra, bukan hanya menanamkan pengetahuan, tetapi juga keterampilan serta nilai dan sikap. Kalau kegiatan apresiasi sastra kurang/tidak dilatihkan, maka kecerdasan emosional siswa tidak meningkat dan hati nuraninya tidak terasah dengan baik.
Dalam buku ‘Emotional Intelligence –Daniel Goleman menyatakan bahwa generasi sekarang lebih banyak mengalami kesulitan emosional daripada generasi sebelumnya: lebih kesepian dan pemurung, lebih berangasan, dan kurang menghargai sopan santun, lebih gugup dan mudah cemas, lebih impulsive dan agresif. Pernyataan ini merupakan hasil sebuah survei besar-besaran terhadap orantua dan guru-guru yang memperlihatkan adanya kecenderungan yang sama di seluruh dunia.
Kalau penulis boleh berpendapat, salah satu faktor penyebab kesulitan emosional siswa adalah kesalahan para pendidik dalam mengaplikasikan ilmunya. Guru sering lupa bahwa kewajibannya di sekolah ada dua, yaitu mendidik dan mengajar. Sementara ini yang guru kejar adalah kecerdasan otak siswa dan sering mengabaikan kecerdasan emosionalnya. Akibanya, siswa memang cerdas dan pintar, tetapi kadang sering curang. Siswa memang pandai dan lihai, tetapi sering tidak berperasaan, dsb. Bapak Said Tuhuleley (wakil redaksi majalah pendidikan ‘Gerbang’} pun berkata, “Jangan-jangan perkelahian pelajar yang marak belakangan ini salah satu sebabnya ialah perasaan dan hati nurani para murid tidak terasah baik, dan jangan-jangan pula itu semua terjadi karena pendidikan sastra kita belum sepenuhnya diarahkan pada tujuan mulia itu” (Gerbang, edisi 10, th.2005: 5).
Bila penulis amati di lapangan, guru bahasa bukan tidak mau menerapkan apresiasi sastra saat pembelajaran, tetapi memang ada beberapa permasalahan yang harus dipecahkan, diantaranya :
1. Di beberapa sekolah, mata pelajaran bahasa masih diajarkan oleh guru yang bukan vaknya, karena memang kekurangan tenaga guru bahasa tersebut.
2. Kekurangan literature yang berkaitan dengan materi dan metode tentang pembelajaran sastra atau apresiasinya, yang berakibat dangkalnya pengetahuan guru bahasa itu sendiri. Materi saastra guru hanyalah sebatas buku yang harus diajarkan kepada siswanya saja.
3. Guru bahasa hanya lebih banyak mengajarkan aspek kebahasaan dan sedikit keterampilan berbahasa serta mengabaikan kegiatan apresiasi sastra.
4. Guru bahasa enggan melatihkan apresiasi sastra pada siswanya, sebab kegiatan apresiasi menyita banyak tenaga dan pikiran. Lebih-lebih bagi guru bahasa yang memiliki bisnis tertentu, kegiatan apresiasi sastra benar-benar akan dianggap sesuatu yang idak menghasilkan atau merugikan.
5. Keterbatasan waktu tatap muka yang tersedia, yang didukung dengan saratnya bahan/isi kurikulum. Akibatnya, siswa tak sempat melaksanakan apresiasi sastra secara baik atau mungkin sempat melakukannya, tetapi tergesa-gesa sehingga hasilnya tidak maksimal.
6. Kurangnya minat siswa pada materi sastra dan kegiatan apresiasinya. Hal ini disebabkan oleh pembelajaran sastra yang kurang/tidak menarik dan juga kurang luasnya pengetahuan siswa tentang tujuan pembelajaran sastra. Sehingga siswa beranggapan bahwa materi sastra kurang layak dikonsumsi dan meremehkannya.
7. Guru dan kepala sekolah salah dalam menanamkan disiplin ilmu, yang lebih mengutamakan materi Ebtanas saja. Padahal itu hanya melatih kecerdasan intelektual siswa dan sama sekali tidak mengasah kecerdasan emosional anak bangsa. Guru dan kepala sekolah sering lupa bahwa tujuan pembelajaran meliputi 3 aspek yakni menanamkan pengetahuan, memberikan keterampilan, serta menumbuhkan nilai dan sikap siswa.
8. Adanya toleransi yang tinggi dari guru bahasa itu sendiri, mengingat tugas-tugas siswa dari materi pelajaran lain yang sudah bertumpuk-tumpuk sehingga kegiatan apresiasi sastra harus dikurangi.
9. Semakin pesat dan majunya teknologi dan industri, sehingga semakin merangsang setiap anak bangsa untuk segera mempelajarinya. Lebih-lebih disadarinya bahwa masa depan pembelajaran teknologi dan industri tesebut lebih menjanjikan daripada harus mempelajari sastra dan apresiasinya.
10. Kurangnya dukungan orangtua akan pembelajaran sastra. Orangtua enggan membelikan buku-buku bacaan yang berkaitan dengan sastra, sehingga siswa turut menjauhinya.
Demikian pembelajaran sastra dan beberapa permasalahan yang bisa penulis sampaikan, mudah-mudahan menjadikan perhatian kita bersama, sekaligus menggugah semangat para guru bahasa pada khususnya dan para pendidik pada umumnya.*

Tidak ada komentar: