SELAMAT DATANG DAN BERGABUNG DENGAN KAMI

BACA DAN NIKMATILAH ARTIKEL-ARTIKEL SASTRA DAN BAHASA KAMI YANG TELAH TERMUAT DI BEBERAPA MEDIA MASSA, BAIK DALAM BENTUK BAHASA JAWA MAUPUN INDONESIA!

PENYEMANGAT

KEJAR TERUS DUNIA MAYA, ENGKAU PASTI MENDAPATKAN SEGALANYA!

Rabu, 25 Maret 2009

13. HAKEKAT SENI

( oleh Dra. Karti Tuhu Utami )
(termuat di Majalah Bende, Edisi 35, September 2006)

Berbicara masalah seni, tentunya tidak terlepas dari segi keindahannya. Seni apa saja, apa itu seni musik, seni tari, seni lukis, seni suara, seni sastra, seni drama, seni pahat, dsb. Dalam kamus telah dituliskan pengertian seni secara panjang lebar bahwa seni adalah 1) halus (tt rabaan); kecil dan halus; tipis dan halus; lembut dan enak didengar (tt suara); mungil dan elok ( tt tubuh), 2) keahlian membuat karya yang bermutu (dilihat dari segi kehalusannya, keindahannya, dsb)- misal: seni bangunan, yakni seni tt keindahan dalam membuat bangunan; seni rakyat yakni kesenian masyarakat banyak dibentuk yang dapat menimbulkan rasa indah yang diciptakan sendiri oleh anggota masyarakat yang hasilnya merupakan milik bersama (KBBI 1995: 816).
Kita sering merasakan keindahan suatu seni, tetapi kadang sulit untuk menentukan kriteria keindahan karya seni itu sendiri.
Anehnya, teman sebelah kita atau orang lain di luar sana juga mengatakan sama dengan pendapat kita. Bagaimana tarian tadi? Dia menjawab ,”Bagus!”. Bagaimana hasil karya sastra ini? Beliau menjawab, “Indah!”. Bagaimana pementasan drama tadi malam? Mereka menjawab, “Amat memuaskan!” dsb. Sebaliknya, manakala kita mengatakan bahwa seni-seni tersebut tidak indah, hampir semua juga berpendapat sama. Yang menjadi pokok persoalan di sini, “Benarkah keindahan seni tidak berdasarkan suatu kriteria?” Kalau memang begitu, tentu bersifat subyektivitas sekali alias tergantung pada perasaan penikmat seni itu sendiri.
Pada saat penulis mengikuti kegiatan Gladi Sastra Etnik di Taman Budaya Surabaya pada tanggal 29-31 Mei 2006, penulis sempat menanyakan kepada Mas Bonari Nabonenar. Penulis mengatakan bahwa di Majalah Panyebar Semangat pernah terbaca cerkak (cerita pendek) yang menurut penulis tidak bagus, tetapi mengapa dimuat? Maksud penulis bukan setiap cerkak di PS tersebut kurang bagus semua, yang bagus lainnya masih banyak. Sebenarnya, bagaimana sih kriteria keindahan suatu hasil karya itu? Kurang lebihnya demikian yang penulis tanyakan. Ternyata, Mas Bonari tidak memberikan batasan tertentu, beliau hanya menatakan bahwa saya (penulis) sudah memiliki kemampuan untuk menilai hasil karya. Hal ini terbukti penulis sudah bisa menyatakan, “bagus atau tidak”.
Di kesempatan berikutnya, seorang peserta dari Madura (Irianti) juga menanyakan, “Bagaimana pemirsa/penonton bisa menikmati suatu kreasi seni, sementara mereka tidak mengerti sama sekali bahasa yang dipergunakan dalam seni pertunjukan hasil karya? “Mas Sendang Mulyono dari Semarang pun berkomentar bahwa banyak ragam seni, yang walaupun tidak dimengerti bahasanya, tetapi dapat juga dinikmati keindahannya. Beliau menegaskan bahwa seni itu selalu dapat dinikmati keindahannya oleh siapa pun, kalau memang hasil karya tersebut benar-benar “indah”.
Penulis amat setuju dan amat mendukung sekali akan pendapat itu. Sebab, penulis memang bisa enjoy menikmati lagu “Denpasar Moon, Poco-Poco, Aserege”, dsb. saat dikumandangkan, padahal penulis tidak mengerti sama sekali maksud dan isi syair lagunya. Nah, semacam inilah sebenarnya yang menjadi rawan, banyak menimbulkan polemik dan salah faham. Masyarakat awam sih tidah salah, karena memang hanya sekedar menikmatinya. Lihat saja si Kecil, dia melantunkan temang Cucak Rowo di mushollah. Para siswa juga menikmati indahnya lukisan vulgar kemolekan wanita (payudara, paha, pantat) saat rekreasi di Bali. seorang kakek asyik menikamti goyang pinggul para penyanyi di layar kaca saat anak cucunya tidak di rumah, dsb. Penulis yakin bahwa maksud penyanyi, pelukis, pencipta gerak adalah menciptaka keindahan. Dan nyatanya, itu pun mampu menyentuh pada pemirsanya. Saat para pemirsa menikmati keindahannya (mungkin karena sama-sama memiliki konsep seni), materi tidak menjadi persoalan. Sebaliknya, saat muncul tinjauan dunia lain dari konsep yang berbeda, materi seni menjadi berkata lain.
Terlepas dari berbagai permasalahan di atas, sekarang apa yang seharusnya guru perbuat untuk menanamkan perasaan seni terhadap anak didiknya di sekolah. Kita tahu bahwa daya apresiasi seni setiap orang itu berbeda-beda. Sebagai bukti nyata selain tersebut di atas, yakni saat pemanggungan hasil pertunjukkan seni sastra etnik di Taman Budaya, ada seorang pengamat mengatakan bahwa hasil pertunjukkan peserta gagal, sementara yang lain berpendapat bahwa pertunjukkan itu sukses atau cukup bisa dinikmati (dengan alasan, karena hanya dalam kurun waktu 2 hari saja, peserta diklat sudah mampu menampilkannya, walaupun masih ada kekurangan di sana-sini).
Barangkali berbekal dari pengalaman itulah, yang mengharuskan guru untuk segera merubah paradikma mengajarnya. Mengajarkan seni (dalam arti luas) janganlah hanya bertujuan untuk mengembangkan pengetahuan siswa tentang seni saja, tetapi juga keterampilan, kreativitas, dan apresiasi dalam bidang seni itu sendiri (Bende 23, 2005: 55). Dengan demikian kepekaan siswa terhadap hasil karya seni semakin tajam.
Realita menunjukkan bahwa kenakalan remaja dewasa ini (termasuk siswa didalamnya) merajalela dimana-mana. Remaja tawuran, melakukan tindak kekerasan dan penganiayaan, mencuri dan merampok, berani terhadap guru dan menentang orangtua, bermalas-malasan dengan minum-minuman keras, berkhayal dengan menghisap sabu-sabu serta ganja, dsb. Berita-berita tentang kenakalan remaja itu kini seakan-akan sudah menjadi santapan rutin dalam kehidupan sehari-hari kita. Di berbagai media tak pernah absen untuk menginformasikannya, apa itu melalui media cetak atau elektronika. Ada-ada saja kenakalan remaja yang merupakan sajian utama dalam media- media tersebut.
Fenomena ini benar-benar membuktikan bahwa moral atau budi pekerti luhur anak bangsa mulai kehilangan kepekaannya. Para remaja tidak lagi halus perasaannya, pudar belas kasihnya, luntur sopan santunnya, kehilangan cinta antarsesama dan tiada memiliki ketulusan serta rasa sayang. Kecerdasan emosionalnya benar-benar tumpul, sehingga hati nurani mereka menjadi keras dan gersang. Said Tuhuleley, wakil pemimpin redaksi majalah “Gerbang” pun berkomentar, “Jangan-jangan perkelahian pelajar yang marak belakangan ini salah satu sebabnya ialah perasaan dan hati nurani para murid tidak terasa baik, dan jangan-jangan pula itu semua terjadi karena pendidikan sastra kita belum sepenuhnya diarahkan pada tujuan mulia itu” (Gerbang edisi 10 th 2005: 5)
Selanjutnya, perlu kita ketahui bersama bahwa fungsi pendidikan nasional kita adalah mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan YME, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab (UU Sisdiknas 20/2003). Tentunya, pendidikan seni kita diharapkan dan harus diarahkan turut berperan dalam mengembangkan kemampuan siswa seutuhnya (dalam arti, untuk mencerdaskan pikiran siswa, mengasah keterampilan siswa, dan juga mematangkan hati nurani/emosinya).
Pendidikan memang bukan hanya beban guru, melainkan tanggungjawab bersama 3 lembaga pendidikan, yakni keluarga, sekolah, dan masyarakat. Tetapi, guru harus paham akan keberadaannya di tiap sekolah. Guru memiliki tugas dan kewajiban ganda, yakni mendidik, mengajar, dan melatih. Bukan hanya itu, guru merupakan ujung tombak pendidikan di sekolah. Para siswa atau anak bangsa tersebut akan dibawa kemana, gurulah panutan utama. Guru juga suri tauladan yang baik bagi anak bangsa. Oleh karena itu jangan biarkan siswa hanya cerdas pikirannya, cerdaskan hati nuraninya, positifkan moralnya, haluskan emosionalnya, serta tumbuhkan pula kepekaan terhadap berbagai masalah yang ada di lingkungannya. Pendidikan seni, salah satu jalan untuk menuju Roma. Biarlah pendidikan seni bukan merupakan syarat utama kelulusan siswa, biarlah pendidikan seni tidak ikut diperhitungkan dalam UNAS, guru pendidikan seni tetap harus bertekad membantu perkembangan anak bangsa menuju kesempurnaan kedewasaannya. Dengan demikian mereka (calon pewaris tunggal tongkat estafet pembangunan negara) akan menjadi manusia-manusia idaman yang bermanfaat bagi negara, bangsa, dan agama.*


( oleh Dra. Karti Tuhu Utami )
(termuat di Majalah Bende, Edisi 35, September 2006)

Berbicara masalah seni, tentunya tidak terlepas dari segi keindahannya. Seni apa saja, apa itu seni musik, seni tari, seni lukis, seni suara, seni sastra, seni drama, seni pahat, dsb. Dalam kamus telah dituliskan pengertian seni secara panjang lebar bahwa seni adalah 1) halus (tt rabaan); kecil dan halus; tipis dan halus; lembut dan enak didengar (tt suara); mungil dan elok ( tt tubuh), 2) keahlian membuat karya yang bermutu (dilihat dari segi kehalusannya, keindahannya, dsb)- misal: seni bangunan, yakni seni tt keindahan dalam membuat bangunan; seni rakyat yakni kesenian masyarakat banyak dibentuk yang dapat menimbulkan rasa indah yang diciptakan sendiri oleh anggota masyarakat yang hasilnya merupakan milik bersama (KBBI 1995: 816).
Kita sering merasakan keindahan suatu seni, tetapi kadang sulit untuk menentukan kriteria keindahan karya seni itu sendiri.
Anehnya, teman sebelah kita atau orang lain di luar sana juga mengatakan sama dengan pendapat kita. Bagaimana tarian tadi? Dia menjawab ,”Bagus!”. Bagaimana hasil karya sastra ini? Beliau menjawab, “Indah!”. Bagaimana pementasan drama tadi malam? Mereka menjawab, “Amat memuaskan!” dsb. Sebaliknya, manakala kita mengatakan bahwa seni-seni tersebut tidak indah, hampir semua juga berpendapat sama. Yang menjadi pokok persoalan di sini, “Benarkah keindahan seni tidak berdasarkan suatu kriteria?” Kalau memang begitu, tentu bersifat subyektivitas sekali alias tergantung pada perasaan penikmat seni itu sendiri.
Pada saat penulis mengikuti kegiatan Gladi Sastra Etnik di Taman Budaya Surabaya pada tanggal 29-31 Mei 2006, penulis sempat menanyakan kepada Mas Bonari Nabonenar. Penulis mengatakan bahwa di Majalah Panyebar Semangat pernah terbaca cerkak (cerita pendek) yang menurut penulis tidak bagus, tetapi mengapa dimuat? Maksud penulis bukan setiap cerkak di PS tersebut kurang bagus semua, yang bagus lainnya masih banyak. Sebenarnya, bagaimana sih kriteria keindahan suatu hasil karya itu? Kurang lebihnya demikian yang penulis tanyakan. Ternyata, Mas Bonari tidak memberikan batasan tertentu, beliau hanya menatakan bahwa saya (penulis) sudah memiliki kemampuan untuk menilai hasil karya. Hal ini terbukti penulis sudah bisa menyatakan, “bagus atau tidak”.
Di kesempatan berikutnya, seorang peserta dari Madura (Irianti) juga menanyakan, “Bagaimana pemirsa/penonton bisa menikmati suatu kreasi seni, sementara mereka tidak mengerti sama sekali bahasa yang dipergunakan dalam seni pertunjukan hasil karya? “Mas Sendang Mulyono dari Semarang pun berkomentar bahwa banyak ragam seni, yang walaupun tidak dimengerti bahasanya, tetapi dapat juga dinikmati keindahannya. Beliau menegaskan bahwa seni itu selalu dapat dinikmati keindahannya oleh siapa pun, kalau memang hasil karya tersebut benar-benar “indah”.
Penulis amat setuju dan amat mendukung sekali akan pendapat itu. Sebab, penulis memang bisa enjoy menikmati lagu “Denpasar Moon, Poco-Poco, Aserege”, dsb. saat dikumandangkan, padahal penulis tidak mengerti sama sekali maksud dan isi syair lagunya. Nah, semacam inilah sebenarnya yang menjadi rawan, banyak menimbulkan polemik dan salah faham. Masyarakat awam sih tidah salah, karena memang hanya sekedar menikmatinya. Lihat saja si Kecil, dia melantunkan temang Cucak Rowo di mushollah. Para siswa juga menikmati indahnya lukisan vulgar kemolekan wanita (payudara, paha, pantat) saat rekreasi di Bali. seorang kakek asyik menikamti goyang pinggul para penyanyi di layar kaca saat anak cucunya tidak di rumah, dsb. Penulis yakin bahwa maksud penyanyi, pelukis, pencipta gerak adalah menciptaka keindahan. Dan nyatanya, itu pun mampu menyentuh pada pemirsanya. Saat para pemirsa menikmati keindahannya (mungkin karena sama-sama memiliki konsep seni), materi tidak menjadi persoalan. Sebaliknya, saat muncul tinjauan dunia lain dari konsep yang berbeda, materi seni menjadi berkata lain.
Terlepas dari berbagai permasalahan di atas, sekarang apa yang seharusnya guru perbuat untuk menanamkan perasaan seni terhadap anak didiknya di sekolah. Kita tahu bahwa daya apresiasi seni setiap orang itu berbeda-beda. Sebagai bukti nyata selain tersebut di atas, yakni saat pemanggungan hasil pertunjukkan seni sastra etnik di Taman Budaya, ada seorang pengamat mengatakan bahwa hasil pertunjukkan peserta gagal, sementara yang lain berpendapat bahwa pertunjukkan itu sukses atau cukup bisa dinikmati (dengan alasan, karena hanya dalam kurun waktu 2 hari saja, peserta diklat sudah mampu menampilkannya, walaupun masih ada kekurangan di sana-sini).
Barangkali berbekal dari pengalaman itulah, yang mengharuskan guru untuk segera merubah paradikma mengajarnya. Mengajarkan seni (dalam arti luas) janganlah hanya bertujuan untuk mengembangkan pengetahuan siswa tentang seni saja, tetapi juga keterampilan, kreativitas, dan apresiasi dalam bidang seni itu sendiri (Bende 23, 2005: 55). Dengan demikian kepekaan siswa terhadap hasil karya seni semakin tajam.
Realita menunjukkan bahwa kenakalan remaja dewasa ini (termasuk siswa didalamnya) merajalela dimana-mana. Remaja tawuran, melakukan tindak kekerasan dan penganiayaan, mencuri dan merampok, berani terhadap guru dan menentang orangtua, bermalas-malasan dengan minum-minuman keras, berkhayal dengan menghisap sabu-sabu serta ganja, dsb. Berita-berita tentang kenakalan remaja itu kini seakan-akan sudah menjadi santapan rutin dalam kehidupan sehari-hari kita. Di berbagai media tak pernah absen untuk menginformasikannya, apa itu melalui media cetak atau elektronika. Ada-ada saja kenakalan remaja yang merupakan sajian utama dalam media- media tersebut.
Fenomena ini benar-benar membuktikan bahwa moral atau budi pekerti luhur anak bangsa mulai kehilangan kepekaannya. Para remaja tidak lagi halus perasaannya, pudar belas kasihnya, luntur sopan santunnya, kehilangan cinta antarsesama dan tiada memiliki ketulusan serta rasa sayang. Kecerdasan emosionalnya benar-benar tumpul, sehingga hati nurani mereka menjadi keras dan gersang. Said Tuhuleley, wakil pemimpin redaksi majalah “Gerbang” pun berkomentar, “Jangan-jangan perkelahian pelajar yang marak belakangan ini salah satu sebabnya ialah perasaan dan hati nurani para murid tidak terasa baik, dan jangan-jangan pula itu semua terjadi karena pendidikan sastra kita belum sepenuhnya diarahkan pada tujuan mulia itu” (Gerbang edisi 10 th 2005: 5)
Selanjutnya, perlu kita ketahui bersama bahwa fungsi pendidikan nasional kita adalah mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan YME, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab (UU Sisdiknas 20/2003). Tentunya, pendidikan seni kita diharapkan dan harus diarahkan turut berperan dalam mengembangkan kemampuan siswa seutuhnya (dalam arti, untuk mencerdaskan pikiran siswa, mengasah keterampilan siswa, dan juga mematangkan hati nurani/emosinya).
Pendidikan memang bukan hanya beban guru, melainkan tanggungjawab bersama 3 lembaga pendidikan, yakni keluarga, sekolah, dan masyarakat. Tetapi, guru harus paham akan keberadaannya di tiap sekolah. Guru memiliki tugas dan kewajiban ganda, yakni mendidik, mengajar, dan melatih. Bukan hanya itu, guru merupakan ujung tombak pendidikan di sekolah. Para siswa atau anak bangsa tersebut akan dibawa kemana, gurulah panutan utama. Guru juga suri tauladan yang baik bagi anak bangsa. Oleh karena itu jangan biarkan siswa hanya cerdas pikirannya, cerdaskan hati nuraninya, positifkan moralnya, haluskan emosionalnya, serta tumbuhkan pula kepekaan terhadap berbagai masalah yang ada di lingkungannya. Pendidikan seni, salah satu jalan untuk menuju Roma. Biarlah pendidikan seni bukan merupakan syarat utama kelulusan siswa, biarlah pendidikan seni tidak ikut diperhitungkan dalam UNAS, guru pendidikan seni tetap harus bertekad membantu perkembangan anak bangsa menuju kesempurnaan kedewasaannya. Dengan demikian mereka (calon pewaris tunggal tongkat estafet pembangunan negara) akan menjadi manusia-manusia idaman yang bermanfaat bagi negara, bangsa, dan agama.*

Tidak ada komentar: